Seluruh Arsip
-
►
2024
(26)
- ► Desember 2024 (23)
- ► November 2024 (3)
-
►
2016
(31)
- ► Maret 2016 (2)
- ► Februari 2016 (13)
- ► Januari 2016 (15)
-
►
2013
(45)
- ► April 2013 (28)
- ► Maret 2013 (9)
- ► Februari 2013 (1)
- ► Januari 2013 (6)
-
►
2012
(155)
- ► Desember 2012 (5)
- ► November 2012 (21)
- ► Oktober 2012 (13)
- ► September 2012 (9)
- ► Agustus 2012 (5)
- ► April 2012 (15)
- ► Maret 2012 (12)
- ► Februari 2012 (23)
- ► Januari 2012 (22)
-
►
2011
(27)
- ► Desember 2011 (2)
- ► Maret 2011 (3)
- ► Februari 2011 (8)
- ► Januari 2011 (4)
-
►
2010
(123)
- ► Desember 2010 (5)
- ► November 2010 (4)
- ► Oktober 2010 (3)
- ► September 2010 (2)
- ► Agustus 2010 (10)
- ► April 2010 (6)
- ► Maret 2010 (13)
- ► Februari 2010 (15)
- ► Januari 2010 (15)
-
▼
2009
(107)
-
▼
Desember 2009
(12)
- Jika 1 Januari Tiba
- Kisah Sebutir Kurma
- Istilah-Istilah dalam Bidang Penyiaran (3)
- Pengertian DESAIN Busana
- Pemilihan Busana Kerja
- Hawa Napsu
- Dua Entitas yang Menyatu
- Yang suka Gamis Modern, Gabung di Sini!
- Organisasi Proyek Fungsional
- Lihat profil Facebook saya
- Hukum Poligami
- Maslahat dalam Sedekah
- ► November 2009 (11)
- ► Oktober 2009 (17)
- ► September 2009 (26)
- ► Agustus 2009 (11)
-
▼
Desember 2009
(12)
Jika 1 Januari Tiba
(penulis buku)
Jawaban terhadap suatu pertanyaan tentu tergantung siapa yang menjawab. Kalau orang Islam sekuler atau yang tak paham syariat ditanya: ''Bolehkah atau tidak, umat Islam ikut merayakan hari Natal, tahun baru 1 Januari, hari Valentine, dan semacamnya, sebagaimana kaum Kristiani merayakannya?'' Jawabannya mungkin: ''Mengapa tak boleh? Sepanjang tak merugikan siapa pun dan pihak mana pun, merayakan ritual Natal, 1 Januari, dan semacamnya malah baik.''
Kalau kita bertanya bukan kepada orang yang tepat, jangan salahkan si penjawab, kalau jawabannya ngawur dan tidak argumentatif. Jawaban yang tidak argumentatif dan tidak berbobot mungkin tak perlu diperhatikan. Agar jawaban argumentatif, pertanyaan sebaiknya kita tujukan hanya kepada ulama-ulama kita yang ilmu mereka sudah diyakini, yang menguasai syariat, yang kalau menjawab pertanyaan, mereka bertanggung jawab dan tidak sembarang jawab.
Kalau pertanyaan di atas ditujukan kepada ulama ahlus sunnah wal jama'ah, yang mendasarkan jawaban pada Alquran dan as-sunah serta tidak berani memberikan jawaban yang menyesatkan. Maka, jawaban mereka tegas, yaitu: ''Tidak boleh.'' Tetapi, jawaban tegas tersebut tidak akan diterima semua umat Islam. Tak sedikit yang justru menolak. Bahkan, tidak saja menolak, tetapi ada juga yang justru ikut merayakan tahun baru 1 Januari sebagaimana dirayakan kaum Kristiani secara global internasional.
Bahkan, pada malam tahun baru, ada kawula muda yang beragama Islam ikut-ikutan bersama kawula muda Kristiani berhura-hura melakukan berbagai 'kegiatan' yang sebagian bersifat destruktif. Ironisnya, remaja yang beragama Islam itu terkesan tak merasa berdosa. Terutama, yang sebelumnya sangat akrab dengan kawula muda Kristiani itu.
Remaja Muslim yang tauhidnya telah mantap dan akidahnya sudah mendalam, akan merasa berdosa bergabung dengan Kristiani, apalagi dalam perayaan dan ritual semacam hari Natal, tahun baru, Valentine, dan seterusnya. Tetapi, keluarga Muslim yang sekuler mungkin tak peduli dan tak mencemaskan putra putri mereka sengaja melibatkan diri dalam perayaan Natal, tahun baru, dan lainnya. Juga, remaja dari keluarga yang tidak mengenal syariat dan tak pernah dididik tentang akidah Islamiyah, mungkin tidak merasa risih dan tak merasa berdosa akrab dengan remaja Kristiani, ketika ikut merayakan tahun baru.
Rasul Allah dalam hal ini mengingatkan bahwa pada saatnya nanti, sejengkal demi sejengkal, umat Islam akan mengikuti budaya Nasrani. Bahkan, andainya Nasrani memasuki lubang biawak, umat Islam juga ikut. Diakui atau tidak, sinyalir Nabi itu kini mulai terlihat satu per satu.
Di sini, intervensi setan tak boleh dilupakan. Dengan segala cara, setan iblis berupaya agar remaja Muslim ikut hanyut terlibat dalam pesta merayakan tahun baru itu. Di sinilah, antara lain letak urgensi iman. Kalau seorang remaja tidak beriman, walaupun dirinya dilarang ikut merayakan Natal dan tahun baru, bisa jadi ia akan nekad tetap ikut melibatkan diri. Sebaliknya, kalau ia beriman, diajak dan disuruh pun, ia tetap takkan sudi. Artinya, peran iman yang menentukan dalam hal ini. Kalau kedua orang tua seorang remaja memang saleh dan selalu mendoakan anaknya, biasanya sang anak remaja tersebut tidak akan ikut dalam kegiatan ritual itu. Remaja yang melibatkan diri dalam hura-hura pesta pada hari Natal dan tahun baru, pada umumnya orang tua mereka tak beriman dan kurang perduli serta tak mau mendakwahi anak sendiri.
Bahkan, mungkin tak pernah shalat seumur hidup. Dalam hal ini, sangat aib sekali kalau seseorang sangat bersemangat menceramahi masyarakat dan berkhotbah di berbagai masjid, tetapi tidak mendidik anak sendiri sehingga sang anak terlibat dalam ritual Natal dan tahun baru. Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran dan as-sunah, para pendahulu umat ( salafus saleh seperti para sahabat Nabi) sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, Idul Fitri dan Idul Adha.
Selainnya, tidak hanya sekadar tidak syari'i, tetapi umat Islam tak boleh ikut merayakannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya, dan membantu penyelenggaraannya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam konteks ini bersabda: ''Barang siapa menyerupai satu kaum maka dia termasuk mereka.'' (HR Abu Dawud dari Abdullah bin Umar) Hari Natal dan tahun baru termasuk di antara jenis perayaan yang dimaksudkan di atas, sebab termasuk di antara perayaan Nasrani.
Maka, tidak halal bagi seorang Muslim yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, menyetujuinya atau mengucapkan selamat terhadapnya. Sebaliknya, wajib atas setiap Muslim menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah SWT dan siksaan-Nya. Juga, diharamkan atas seorang Muslim membantu perayaan tersebut dengan cara apa pun, baik berupa pemberian hadiah, makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, saling berkirim surat, dan seterusnya.
Sebab, itu semua termasuk dalam sikap saling menolong di atas dosa dan permusuhan, serta kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Allah SWT dalam hal ini berfirman: ''Dan saling bertolong-tolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Almaidah: 2)
Kisah Sebutir Kurma
Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Mesjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1kg kurma dari pedagang tua di dekat Mesjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak dekat timbangan.
Menyangka kurma itu sebagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa.
Empat bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat danberdoa khusuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat.
"Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT," kata malaikat yang satu.
"Tetapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena empat bulan lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram," jawab malaikat satu lagi.
Ibrahim terkejut dan terhenyak. Jadi selama empat bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
"Astaghfirullahal adzhim," Ibrahim beristighfar.
Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma, untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Mekkah, ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua tersebut, melainkan seorang anak muda.
"Empat bulan lalu, saya membeli kurma dari seorang pedagang tua di sini. Ke mana ia sekarang?" tanya Ibrahim.
"Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya meneruskan berdagang kurma," jawab anak muda itu.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un. Kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?" ujar Ibrahim.
Lantas ia menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. "Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah menghalalkan sebutir kurma yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?"
"Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan, tapi entah dengan 11 saudara saya. Saya tak berani mengatas namakan karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya," ujar anak itu.
"Di mana alamat saudara-saudaramu? Biar saya temui satu persatu," tutur Ibrahim.
Setelah menerima alamat, Ibrahim pergi menemui. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga dan semua setuju menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan Ibrahim.
Sekira empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah kembali berada di bawah kubah Sakhra. Tiba-tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar tengah bercakap-cakap. "Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain," kata malaikat yang satu.
"O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi. Ibrahim telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas," tegas malakat lainnya.
Apabila Anda mempunyai teman atau saudara yang Anda sayangi, teruskan kisah ini. Berhati-hatilah dengan makanan yang masuk ke tubuh kita, sudah halal-kah? Lebih baik tinggalkan bila ragu-ragu…"
Wassalam
Istilah-Istilah dalam Bidang Penyiaran (3)
Pengertian DESAIN Busana
Pemilihan Busana Kerja
Hawa Napsu
Suatu saat terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rasulullah Saw bertanya kepada Hudzaifah. Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat ini? Jawab Hudzaifah: "Saat ini saya sudah benar-benar beriman, ya Rasulullah". Rasul kemudian mengatakan, "Setiap kebenaran itu ada hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu, wahai Hudzaifah?" Jawab Hudzaifah: Ada "dua", ya Rasulullah. Pertama, saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga bagi saya debu dan mas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan menikmatinya dan bersyukur kepada Allah SWT. Tapi, kalau suatu saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah, dan bila ia pergi maka, Innalillaahi wa inna ilaihi raji'un. Yang kedua, Hudzaifah mengatakan, "setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya bayangkan seakan-akan surga dan neraka itu ada di depan saya. Lantas saya bayangkan bagaimana ahli surga itu me-nikmati kenikmatan surga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab neraka jahanam. Sehingga terdoronglah saya untuk melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya".
Mendengar jawaban Hudzaifah ini, Rasul langsung saja memeluk Hudzaifah dan menepuk punggungnya sambil berkata, "pegang erat-erat prinsip keimananmu itu, ya Hudzaifah, kamu pasti akan selamat dunia akhirat". Bila kita cermati dialog tersebut, paling tidak, ada "dua" hikmah yang bisa kita petik. Pertama, iman kepada Allah, dengan mencintai Allah itu di atas cinta kepada selain Allah. Dan yang kedua, selalu membayangkan akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan di dunia bagi kehidupan yang abadi di akhirat nanti.
Di dalam beberapa ayat, Allah SWT menjelaskan tentang sifat-sifat orang-orang yang muttaqin, mereka di antaranya adalah yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat. Orang yang beriman akan adanya kehidupan akhirat, akan membuat dia mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meyakini akan adanya kehidupan akhirat, "Mereka tidak pernah takut dengan hisab Kami, dan mereka telah mendustai ayat-ayat Allah dengan dusta yang nyata." (An Naba', 78 : 27-28)
Di dalam Alquran, Allah SWT mengisahkan dialog sesama Muslim di akhirat yakni antara Muslim yang ahli surga dengan Muslim berdosa yang masuk dalam neraka jahanam. Muslim yang langsung masuk surga bertanya kepada Muslim berdosa yang masuk ke dalam neraka. "Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka ? Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan hingga datang kepada kami kematian." (Al Muddatstsir, 74 : 42-46)
Menurut Alquran, kebanyakan orang-orang yang kufur adalah mereka yang akhir hidupnya penuh dengan kemaksiatan. Ini terjadi karena mereka tidak mengimani bahwa kehidupan mereka akan berakhir di alam akhirat dan mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh aspek kehidupan mereka selama di dunia. Demikian pula, Allah SWT mengisahkan kesombongan Fir'aun dan orang-orang yang menyembahnya, "Sombonglah Fir'aun itu dengan seluruh pengikutnya di muka bumi tentu dengan alasan yang tidak benar. Dan mereka mengira, bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada Kami." (Al Qashash, 28 : 39)
Kesombongan Fir'aun berakhir saat sakaratul maut. Saat dia menyadari bahwa dia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ketika rombongan malaikat yang bengis-bengis itu mendatanginya saat dia sedang berada di tengah laut, yang dikisahkan para malaikat itu langsung memukul wajah dan punggung mereka. Allah SWT berfirman: "..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya." (Al An'aam, 6 : 93)
Pada saat sakaratul maut itu, Fir'aun menyatakan: "Sekarang saya benar-benar beriman dengan Tuhannya Nabi Musa dan Harun". Namun saat sakaratul maut pintu taubat sudah ditutup. Karena sudah tidak ada lagi ujian keimanan, sebab yang ghaib termasuk alam dan makhluk ghaib sudah terlihat nyata. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (Qaaf, 50 : 22)
Orang yang beriman kepada Allah dan beriman kepada hari pembalasan/akhirat, yang diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya untuk hanya mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang dibenci Allah, yang hanya mencintai sesuatu di dunia jika yang dicintainya itu dicintai Allah SWT.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, suatu ketika pada siang hari, Sayidana Umar ra. berkunjung ke rumah Rasulullah SAW di mana saat itu Rasul sedang tidut beristirahat, dengan dada telanjang. Ketika beliau bangun tampaklah pada punggungnya garis-garis merah karena kasarnya alas tidur beliau yang dibuat dari pelepah kurma. Melihat pemandangan ini, Sayidina Umar menangis. Beliau yang terkenal keras saat itu luluh hatinya ketika melihat Rasulullah dalam kondisi seperti itu. Rasul bertanya: "Apa yang membuat kamu menangis wahai Sayidina Umar ? "Umar berkata:" saya malu ya Rasulullah, engkau adalah pemimpin kami, engkau adalah Rasul Allah, manusia pilihan, manusia yang dimuliakan-Nya. Engkau adalah pemimpin ummat, namun engkau tidur di atas alas yang kasar seperti ini, sementara kami yang engkau pimpin tidur di atas alas yang empuk. Saya malu ya Rasusulullah, selayaknya engkau mengambil alas tidur yang lebih dari ini". Rasul menjawab: "Apa urusan saya dengan dunia ini? Tidak ada! Urusan diri saya dengan dunia ini kecuali seperti orang yang sedang mengembara dalam musim panas menempuh sebuah perjalanan yang cukup panjang, lalu sekejap mencoba bernaung di bawah sebuah pohon yang rindang untuk sekejap melepas lelah. Setelah itu dia pun kemudian pergi meninggalkan tempat peristirahatannya". Kata Rasul: haruskah saya korbankan kehidupan yang abadi hanya untuk bernaung sejenak menikmati itu? (HR. Ahmad, Ibnu Habban, Baihaqi)
Selain kisah di atas, ada kisah lain yang layak kita renungkan di mana suatu ketika Khalifah Umar kedatangan putranya, Abdullah, yang meminta dibelikan baju baru. Secara spontan saja Sayidina Umar langsung marah sambil mengatakan: "Apakah karena kamu seorang anak Amirul Mu'minin lantas kamu ingin bajumu selalu lebih baik dari anak-anak yang lain ? Jawab Abdullah: Tidak! Saya khawatir malah kondisi saya ini akan menjadi fitnah, menjadi bahan cemoohan orang lain di mana anak Amirul mu'minin pakaiannya tidak pernah ganti-ganti, sebab dia hanya memiliki dua baju, di mana bila yang satu dipakai maka yang satu dicuci dan seterusnya. Sayidina Umar berkata: "Baiklah Nak, saya ingin belikan kamu baju baru hanya saja ayah saat ini tidak punya uang. Untuk itu kamu saya utus menemui "Khoolin Baitul Maal' (bendahara negara), sampaikan kepada beliau salam dari ayah dan katakan pula bahwa ayah bermaksud mengambil gajinya bulan depan untuk membelikan kamu baju baru. Abdullah langsung menemui bendaharawan negara dengan mengatakan: "Ada salam dari ayah. Dan, ayah minta supaya gaji bulan depan bisa diserahkan saat ini untuk membelikan saya baju baru". Bendaharawan tersebut mengatakan: "Nak, sampaikan kembali salamku kepada ayahmu, dan katakan bahwa aku tidak bersedia mengeluarkan uang itu". Tanyakan kepada ayahmu, apakah ayahmu yakin sampai bulan depan beliau masih menjabat Amirul Mu'minin, sehingga berani mengambil uang gajinya bulan depan sekarang ? Andaikata dia yakin sampai bulan depan dia masih Amirul Mu'inin, yakinkah sampai besok dia masih hidup, bagaimana kalau besok ia meninggal dunia padahal gajinya bulan depan sudah dikeluarkan. Mendengar jawaban bendahara negara yang demikian itu, pulanglah Abudullah segera menemui ayahnya sambil menyampaikan pesan dari bendaharawan tersebut.
Mendengar penuturan anaknya, Umar langsung menggandeng tangan anaknya sambil mengatakan, antarkan saya menemui bendaharawan tadi. Begitu sampai di hadapan bendaharawan tersebut, Sayidina Umar langsung memeluknya, sambil mengatakan, terima kasih, saudara telah mengingatkan saya terhadap satu keputusan yang nyaris saja salah. Demikianlah kisah Sayidina Umar dan masih banyak lagi kisah lain dari perjalanan hidup para sahabat yang patut kita teladani untuk menghadapi dinamika kehidupan yang terus berkembang mengikuti perputaran zaman.
Allah SWT telah mengingatkan tentang bahayanya manusia-manusia yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan hidupnya, "Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya." (An Naazi'aat, 79 : 39) "Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nyadan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk" (An Najm, 53 : 29-30)
Akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang sedemikian mulianya bisa terwujud tiada lain karena adanya benteng keimanan yang sangat kuat dan kokoh. Semoga kita bisa meneladani apa yang menjadi perilaku Rasul dan para sahabatnya. Amin! mr-republika
Dua Entitas yang Menyatu
Baru saja di bulan Dzulhijjah 1430 H ini, dua ratus ribuan kaum Muslimin Indonesia yang bergabung dengan jutaan kaum Muslimin lainnya dari berbagai belahan dunia, telah selesai melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji.
Tentu saja harapan mereka dan harapan kita semua, para jamaah haji, akan mendapat predikat ''haji mabrur'', haji yang baik dan bersih yang diterima Allah SWT, yang tidak ada balasannya selain kelak akan mendapatkan surga dari Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam hadis Rasulullah SAW riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah (Fiqh Sunnah, juz 5 hlm 24).
Inti dari haji mabrur, sebagaimana diungkapkan para ulama, adalah adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih positif dan lebih baik, dibandingkan dengan perilaku sebelum ibadah haji An-Yakuuna Ahsana min Qablu wa an Yakuuna Qudwata Ahli Baladihi
Para jamaah haji semakin taqarrub (dekat) kepada Allah SWT, dengan berbagai ibadah wajib dan sunah, dan semakin dekat serta akrab hubungannya dengan sesama manusia, dengan melakukan berbagai aktivitas sosial kemanusiaan, yang bermanfaat bagi lingkungannya. Berinfak, bersedekah, berwakaf, menolong sesama, bersinergi, dan berkoordinasi dalam kebaikan dan takwa demi kesejahteraan masyarakat, merupakan karakter dan perilaku kesehariannya.
Dalam sebuah hadis marfu' , Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji mabrur selalu memberi makan pada orang yang lapar dan selalu berkata dengan perkataan yang baik. Karena itu, bisa dinyatakan bahwa perilaku para jamaah haji yang mabrur itu adalah rombongan kaum Muslimin yang berhijrah (berpindah) dari perilaku yang buruk menuju perilaku yang baik, dan bahkan lebih baik dari sebelumnya, sebagaimana tersebut di atas. Haji mabrur dan hijrah adalah dua entitas yang menyatu pada pribadi Muslim dan Mukmin, sama menyatunya antara iman dengan amal saleh.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Ashr [103] ayat 1-3: ''Demi masa (01) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (02) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran (03).''
Sungguh suatu anugerah Allah SWT yang sangat luar biasa, apabila para hujjaj(jamaah haji) tersebut adalah juga para muhajir (orang-orang yang berhijrah) yang memiliki keinginan kuat dan tindakan nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Semoga harapan ini menjadi suatu kenyataan. Insya Allah.
Organisasi Proyek Fungsional
.... Selengkapnya >>> Organisasi Proyek
.
Lihat profil Facebook saya
|
Hukum Poligami
Para ulama telah sepakat bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam hingga empat istri. Hal ini berlandaskan kepada Kitabullah dan as-Sunnah. Adapun dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah subhanahu wata'ala, artinya,
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki." (QS. 4:3)
Sedangkan dari as-Sunnah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi ketika dia masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri, "Engkau pilih empat orang dan engkau ceraikan yang lainnya." (al-Hadits)
Dari sini jelas sekali hukum poligami dalam Islam, dan dalil-dalil yang lainnya tentu masih banyak. Orang yang mengharamkan dan menentang poligami berarti telah menentang al-Qur'an dan as-Sunnah, dan dia tidak termasuk dalam lingkaran Islam. Dalam hal ini mendebat mereka hanya akan membuang-buang waktu saja. Kecuali bagi mereka yang terkena fitnah syubhat dalam pemikiran, maka diharapkan penyakit tersebut dapat disembuhkan.
Poligami sebenarnya bukan hal baru yang dibawa oleh Islam, namun ia telah ada pada umat-umat sebelum Islam. Poligami telah ada dalam agama yahudi, nashrani, ada pada bangsa Romawi, Persia, Yunani, India, Cina, Mesir dan bangsa-bangsa lain.
Hikmah di Balik Poligami
Poligami dalam Islam disunnahkan bagi laki-laki yang memiliki kemampuan. Allahsubhanahu wata'ala mensyari'atkan poligami tentunya dengan membawa hikmah yang mendalam. Orang yang diberi pengetahuan oleh Allah akan mengetahuinya sedangkan yang dibutakan hatinya maka dia tidak akan tahu. Hikmah poligami amat banyak, di antara yang terpenting adalah:
1. Islam menganjurkan agar memperkuat serta memperbanyak keturunan dan generasi. Poligami merupakan salah satu sarana untuk mencapai hal tersebut.
2. Secara alamiyah wanita memiliki halangan biologis seperti haid dan nifas, dan terkadang menderita berbagai penyakit tertentu, sedangkan sang suami dalam kondisi yang prima, sementara berzina diharamkan dalam Islam. Jika dia dilarang menikah lagi dan juga dilarang berzina serta nikah mut'ah maka dia menghadapi kesulitan besar. Sehingga Allah subhanahu wata'ala membolehkan seseorang untuk berpoligami karena di dalamnya terdapat manfaat untuk menghilangkan kerusakan dan kehancuran.
Sungguh amat buruk yang dilakukan oleh musuh Islam dan para penentang poligami, yang memaksa kaum lelaki untuk menikah hanya seorang istri saja. Sehingga sama saja menyuruh para suami (yang mampu berpoligami) untuk mencari wanita-wanita haram dan pelacur. Demikian pula para wanita yang tidak sempat menikah akhirnya mencari laki-laki hidung belang, baik untuk kepuasan atau mencari penghidupan, karena tidak memiliki suami yang menafkahinya secara lahir dan batin.
3. Terkadang kaum wanita tidak lagi memiliki gairah dan keinginan untuk berhubungan suami istri karena kondisi biologis. Maka seorang suami menikah dengan wanita lain lebih baik daripada menceraikan istrinya. Demikain pula terkadang seorang istri ada yang mandul, sedang untuk menceraikan tidak mungkin, sehingga terjadi problem rumah tangga. Maka jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpoligami.
4. Terkadang ada seorang wanita yang berusia agak lanjut (dan belum menikah), atau mengalami cacat dan kekurangan dari segi fisik, sehingga dia sangat memungkinkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang telah memiliki istri.
5. Jumlah kaum wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, bahkan mungkin berlipat ganda. Maka kaum laki-laki jelas menghadapi kerusakan dan bahaya yang besar. Membatasi hanya menikah dengan satu wanita saja jelas menjadikan jumlah wanita tak bersuami akan membengkak. Padahal tidak menikahnya para wanita akan menimbulkan problem yang sangat besar, seperti terlantarnya kaum wanita, kemiskinan, serta kesempitan jiwa dan beban psikologis. Ini jelas akan membuka berbagai pintu kerusakan, na'udzu billah min dzalik.
Demikian di antara beberapa hikmah dan manfaat poligami. Adapun di negara-negara barat dan negara kafir yang menjalankan aturan sekuler maka kita dapati mereka sangat anti dan menentang poligami. Namun dalam waktu bersamaan mereka melegalkan perzinaan, pelacuran dan berbagai tindakan keji lainnya.
Dan sangat kita sayangkan bahwa sebagian kaum muslimin pun ada yang mengikuti pemikiran kaum kafir ini. Mereka menyangka bahwa segala yang datang dari barat adalah kemajuan dan kebaikan meskipun itu berupa kebatilan. Sehingga tidak mengherankan jika ada negara yang mengklaim sebagai negeri islami atau penduduknya mayoritas muslim, namun memberlakukan peraturan larangan poligami. Maka bukan rahasia lagi, jika orang-orang yang sebenarnya mampu berpoligami justru lebih memilih mencari " istri simpanan", berselingkuh atau bahkan pergi ke pelacuran daripada menikah secara sah. Salah satu penyebabnya adalah karena lingkungan dan sistem perundang-undangan tidak mendukung dan tidak memberi toleransi terhadap poligami, bahkan bagi sebagian masyarakat poligami sudah dianggap sebagai suatu tindakan kejahatan.
Kita tidak mengingkari, bahwa berpoligami terkadang mendatangkan berbagai problem, baik yang berkaitan dengan suami-istri maupun anak-anak, dan ini merupakan sesuatu yang wajar. Dan masalah rumah tangga tidak hanya dihadapi oleh mereka yang berpoligami saja, yang beristri satu pun pasti akan menghadapinya, tinggal bagaimana para suami dan istri menyelesaikan masalah tersebut.
Kendala Berpoligami
Tidak diragukan lagi bahwa poligami kini menghadapi berbagai kendala dan masalah, namun harus disadari bahwa setiap masalah pasti memiliki sebab dan jalan keluar. Di antara kendala terbesar poligami adalah sebagai berikut:
1. Keberhasilan musuh-musuh Islam dan para penentang poligami dalam menyebarkan berbagai statemen miring dan tuduhan negatif terhadap poligami. Sehingga terbentuk opini di masyarakat bahwa poligami adalah sebuah tindak kejahatan dan keburukan yang harus ditentang. Sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan pemikiran ini, dan para "cendekiawan" pun angkat bicara melemparkan syubhat poligami melalui berbagai media. Di antara syubhat-syubhat yang mereka sampaikan adalah:
Bahwa laki-laki tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Mereka berdalih dengan firman Allah subhanahu wata'ala, artinya,
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS. an-Nisa':29)
Mereka tidak faham bahwa adil yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah dalam masalah hati dan cinta. Ada pun dalam hal nafkah, rumah, mabit, pakaian dan semisalnya maka itu sesuatu yang sangat dapat dilakukan. Jadi maksud ayat di atas adalah janganlah seorang suami condong terhadap salah satu istrinya sehingga menelantarkan istrinya yang lain, walaupun dari segi rasa cinta berbeda antara satu dengan yang lain.
Syubhat ke dua, bahwa poligami hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian antar istri dan anak-anak, sehingga merusak rumah tangga. Jawaban untuk syubhat ini adalah, bahwa penyebab permusuhan dan kebencian bukanlah poligami namun lebih pada masalah siasat (niat buruk) elemen keluarga, baik suami, istri atau anak-anak, dan juga seorang istri terhadap madunya. Berapa banyak suami yang hanya memiliki satu istri, namun terjadi permusuhan dengan istri dan anak-anaknya. Dan tidak sedikit suami yang melakukan poligami namun keluarganya tentram dan bahagia tanpa ada permusuhan.
Syubhat ke tiga, bahwa poligami akan menyebabkan kemiskinan dan kefakiran. Pemikiran seperti itu berbahaya dan tidak diperbolehkan, karena rizki ada di tangan Allah. Amat banyak keluarga yang dalam kecukupan, meskipun mempunyai anggota keluarga yang besar. Dan banyak pula manusia yang fakir dalam kesendiriannya. Namun demikian berpoligami hanya dapat dilakukan jika seorang laki-laki memenuhi syarat mampu dan adil.
Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala semaksimal mungkin, dan menjauhi sikap pilih kasih. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda bahwa apabila seorang suami memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya maka dia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan bahunya miring.
3. Kurangnya kesabaran para wanita. Ditambah cemburu yang melampaui batas sehingga menimbul kan permusuhan antar istri. Dan umumnya problem yang sering terjadi dalam poligami adalah dalam hal ini, apalagi jika kedua belah pihak sama-sama tidak setuju dengan poligami. Cemburu adalah suatu yang dapat ditolerir sebagaimana hal itu terjadi pada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Namun tentu harus ada batasnya. Bukan cemburu buta dan tanpa batas, hingga melaknat, mencaci, membenci ketetapan Allah dan syari'atnya, atau melakukan ghibah, namimah (adu domba) agar sang suami mentalak madunya. Bahkan mungkin ada di antara wanita yang pergi ke dukun untuk memisahkan suaminya dengan istrinya yang lain, atau mengguna-guna suaminya agar selalu condong kepada dirinya. Semua ini merupakan perkara yang terlarang dalam agama Islam dan termasuk dosa yang sangat besar. Na'udzu billah min dzalik .Sumber: Tsalatsun Majlisan fi Irsyadil Ummah,
Postingan Populer
-
Harga Besi Beton Sidoarjo: Panduan Lengkap untuk Proyek Konstruksi Anda Sidoarjo, sebagai salah satu kawasan industri dan kota berkembang di...
-
Inspirasi Tenda Pernikahan Sederhana dan Elegan di Rumah Mengadakan pernikahan di rumah telah menjadi pilihan populer, terutama bagi pasanga...
-
Harga Besi Beton per Batang: Panduan untuk Proyek Konstruksi Anda Ketika merencanakan sebuah proyek konstruksi, baik itu rumah tinggal, ge...
-
Air Minum Isi Ulang: Jasa Pengiriman Air Bersih Sumber Pegunungan Pacet untuk Depo Air Minum Isi Ulang Air minum adalah kebutuhan dasar ya...