Seluruh Arsip

: Ujian Pengawasan dalam UN 2010

Harsono
Auditor Ahli Muda pada Inspektorat Jenderal Kemendiknas

Komitmen pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), untuk menjadikan Ujian Nasional (UN) lebih berkualitas tidak main-main. Hal ini dibuktikan dengan terus disempurnakannya sistem penyelenggaraan dan ditingkatkannya standar kelulusan UN.

Penyempurnaan itu antara lain terdapat pada UN tahun 2010 untuk jenjang Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah tahun 2010. Pengawasannya diserahkan langsung kepada perguruan tinggi yang pelaksanaannya terintegrasi dengan penyelenggaraan UN sehingga tidak diperlukan lagi Tim Pemantau Independen (TPI). Penyempurnaan lain yang sudah dilakukan oleh Kemendiknas adalah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN.

Terkait UN 2010, BSNP telah menetapkan sedikitnya empat Prosedur Operasi Standar (POS) yang meliputi POS UN SMP dan SMK, POS UN SMA/MA, POS Pencetakan Naskah, dan POS TPI. Keempat POS tersebut telah mengatur semua aspek yang terkait dengan UN, mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pelaporan sekaligus memuat ketentuan siapa melakukan apa serta sanksi bagi pelanggarnya. POS yang terkesan sangat rijit ini tampaknya dimaksudkan untuk tidak memberi celah sekecil apa pun kepada para pihak untuk melakukan kesalahan/kecurangan.

Titik rawan
Lengkap dan rijitnya aturan UN tidak memberikan jaminan bahwa pelaksanaan UN akan berlangsung tanpa penyimpangan. Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penulis memprediksi masih akan ada sejumlah titik rawan kecurangan dalam pelaksanaan UN 2010. Pertama, percetakan. Perusahaan yang menggandakan soal-soal UN sangat berpotensi menjadi sumber terjadinya kebocoran soal. Apalagi, perusahaan percetakan juga bertanggung jawab sampai distribusi soal ke rayon/subrayon penyelenggara UN di level kecamatan. 

Kondisi yang lebih mengkhawatirkan dan rentan kebocoran juga terlihat di empat provinsi yang tidak mencetak naskah di provinsi sendiri, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencetak di Jakarta, Bengkulu mencetak di Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Barat sebagian mencetak di Bali, dan Sulawesi Tenggara mencetak di Sulawesi Selatan. Ini adalah konsekuensi logis dari sistem lelang terbuka yang memungkinkan perusahaan dari mana saja untuk ikut dan menjadi pemenang pelelangan pekerjaan cetak naskah UN.

Kedua, pengawas ruang ujian. Berdasarkan POS, petugas pengawas ruang ujian adalah guru mata pelajaran yang tidak sama dengan pelajaran yang sedang diuji. Secara umum, pengawas ruang UN harus memiliki sikap dan perilaku disiplin, jujur, bertanggung jawab, teliti, dan memegang teguh kerahasiaan. Pada jenjang SMA/MA, pengawas ruang ditetapkan oleh perguruan tinggi, sedangkan SMP/MTs dan SMK ditetapkan oleh penyelenggara UN tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini Dinas Pendidikan. Di samping itu, masih sering terdengar kabar tentang pengawas ruangan yang melakukan perbuatan menyimpang, seperti membaca soal sisa dan membantu memberikan jawaban kepada peserta serta melakukan aktivitas di luar tugas dan fungsi kepengawasan sehingga pekerjaan pengawasan tidak optimal.

Ketiga, panitia UN di sekolah. Kerawanan paling tinggi terletak di panitia UN sekolah karena kepanitiaan terdiri atas kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi sekolah bersangkutan yang notabene sangat berkepentingan untuk meluluskan seluruh siswanya. Pada masa lalu, kita mengenal ada "Tim Sukses UN" di sekolah. Dalam konotasi negatif, tim berupaya dengan berbagai cara agar seluruh peserta didiknya lulus dengan hasil terbaik. Jelas, pada level sekolah, justru tingkatan kerawanannya sangat tinggi dan biasanya dilakukan oleh 'orang dalam'.

Keempat adalah guru. Dalam konteks UN, guru justru berpotensi menjadi pemeran utama penyimpangan. Banyak faktor yang menyebabkan guru berperilaku seperti itu, yaitu dorongan agar siswanya lulus, penilaian kinerja guru yang hanya didasarkan hasil capaian UN, serta tekanan kepala sekolah agar bidang studi yang diajarkan mendapat nilai lulus.

Kelima adalah siswa. Titik kerawanan terakhir terdapat dalam diri peserta. Kerawanan yang ditimbulkan siswa memiliki bobot yang sangat rendah, mengingat modus-modus yang dilakukan secara umum sudah diketahui oleh guru/pengawas ruangan. Misalnya, kecurangan dengan menggunakan telepon genggam. Pola-pola kecurangan seperti ini dapat dicegah hanya dengan sedikit mengintensifkan pengawasan oleh pengawas ruang ujian.

Pengawasan
Ada dua penyebab utama terjadinya berbagai macam penyimpangan dalam pelaksanaan UN. Pertama adalah masalah moral dan pengawasan yang lemah. Menteri Pendidikan Nasional dalam beberapa kesempatan, saat berbicara tentang UN, kerap menyatakan bahwa UN adalah ujian kejujuran. 

Tentu, ini sangat tepat bila memandang UN dalam perspektif moral. Bila memandang UN dalam perspektif administrasi negara, UN adalah ujian atas kinerja pengawasan pendidikan. Sebaik apa pun POS yang sudah ditetapkan, bila tidak disertai dengan pengawasan yang memadai dalam setiap prosesnya, itu akan berpotensi melahirkan kecurangan. Pengawasan yang lemah akan menciptakan kesempatan/peluang oknum untuk melakukan kecurangan.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan UN, kita memiliki lembaga-lembaga pengawasan yang dapat diberdayakan untuk mengawal pelaksanaan UN agar selaras dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pada level nasional, ada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendiknas yang mempunyai pekerjaan mengawasi pelaksanaan tugas di lingkungan Kemendiknas.

UN merupakan salah satu program nasional yang termasuk dalam lingkup tugas pengawasan Itjen. Permasalahan besar yang dihadapi Itjen dalam melakukan pengawasan UN adalah keterbatasan sumber daya manusia dengan jumlah auditor yang hanya sekitar 300 personel. Hal ini sangat sulit bagi lembaga tersebut untuk menjangkau sasaran pengawasan UN secara luas. Keterbatasan tersebut telah disiasati dengan menugaskan sebagian besar auditor untuk memantau langsung ke sekolah di sejumlah kabupaten/kota.

Berdasarkan data, pada sekolah-sekolah yang diawasi, tidak ditemukan kasus-kasus pelanggaran serius. Setidaknya, hal ini dapat dijadikan argumen bahwa kehadiran aparat pengawasan akan mereduksi kemungkinan terjadinya kecurangan. 

Bila saja elemen-elemen pengawasan tersebut diberdayakan dan disinergikan untuk mengawal UN, akan tercipta tim besar pengawasan pendidikan dan akan mempercepat proses tercipta UN yang objektif, berkeadilan, dan akuntabel. Apakah sinergi itu akan terjadi pada UN 2010? Yang jelas, UN 2010 adalah ujian kinerja pengawasan pendidikan.

.... dari inbox gmail . com ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


____________Toko Produk-Produk Cantik

Postingan Populer