“Sekolahku, Dulu dan Kini” SDN Klampokarum Oleh: Solikhatul Fatonah Kurniawati (Watiek)
Saat ini ada sahabat kita yang sedang memperjuangkan komputer gratis untuk sekolah dasar di desanya. Mohon dukungannya dengan membuka dulu link:
facebook.com/bhinnekacom?v=app_4949752878 (kompetisi sudah ditutup)
Kemudian klik LIKE (Suka) pd tulisan NOMOR URUT 9, judul: “Sekolahku, Dulu dan Kini” by Solikhatul Fatonah Kurniawati
1 klik sangat berarti bagi sekolah tersebut, karena semakin banyak pemberian tanda LIKE (Suka) pada tulisan itu, akan semakin besar kemungkinan sekolah tersebut mendapatkan komputer GRATIS.
Mohon sebarkan pula info ini dengan tag (tandai) teman-teman anda. Trims.
“Sekolahku, Dulu dan Kini”
SDN Klampokarum
Oleh: Solikhatul Fatonah Kurniawati (Watiek)
Tak banyak yang bisa kuceritakan
tentang sekolahku ini. Sekolahku, SD Negeri Klampokarum, terletak di
desa Klampokarum, Kec.Tekung, Kab Lumajang, tempat dimana aku dan kedua
orang tuaku membesarkanku dengan penuh kasih sayang.
Masih ku ingat saat pertama kali aku diantar nenekku pergi ke sekolah. Ketika sampai di sana, tampak murid-murid baru yang sama cemasnya denganku dalam memasuki sebuah lingkungan baru. Kenangan demi kenangan masih terekam erat di kepalaku. Dengan keterbatasan yang ada, kami, tetap semangat menggapai impian dan cita-cita.
Sekolahku terdiri dari tujuh ruangan kala itu. Enam ruangan dibagi untuk kelas 1 hingga kelas 6, dan 1 ruangan untuk ruang guru, merangkap ruang kepala sekolah, ruang sholat, perpustakaan, UKS, bahkan gudang. Tak ada guru untuk masing-masing bidang studi. Satu guru bisa melakukan one stop teaching untuk murid-muridnya. Benar-benar guru yang hebat menurutku.
Tiap tahun ajaran baru, para guru selalu cemas dengan jumlah murid yang mendaftar di sekolah. Para guru harus mengeluarkan energi tambahan untuk mendapatkan murid-murid baru agar sekolah kami tetap hidup. Keterbatasan fasilitas membuat sekolah ini semakin terpinggirkan. Mayoritas yang bersekolah di sekolah ini adalah murid-murid yang berasal dari kalangan bawah. Pekerjaan para orang tua murid sebagian besar adalah buruh tani ataupun tukang becak.
Tak ada yang membedakan semangat dan antusias para murid di desa kami dengan murid-murid di sekolah perkotaan. Mereka tetap anak-anak yang haus akan hal-hal baru, pengetahuan baru, dan informasi baru.
Kini, 16 tahun sudah sejak aku pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Tak ada yang berubah dengan sekolahku ini. Keterbatasan masih terlihat disana-sini, bangku-bangku masih sama, ruang-ruang kelas masih sama, sungai di depan sekolahku pun masih tetap sama mengalir derasnya dengan semangat murid-murid di sekolah ini. Tiap melewati sekolahku ini, ada perasaan nostalgia yang indah ketika melihat murid-murid berlarian kesana-kemari, seolah melihat diriku di masa lalu.
Tiap kali aku pulang kampung, aku selalu bertanya perkembangan sekolahku kepada ibuku yang telah berpuluh tahun mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Tiap tahun, ibuku bersama guru-guru yang lain masih saja harus gigih mengajak anak-anak di desa kami untuk bersekolah di tempatnya. Ibuku juga bercerita betapa ia bangga akan prestasi anak didiknya dalam berbagai lomba yang dikompetisikan dengan sekolah-sekolah perkotaan. Ada yang juara satu lomba tartil Al Quran, juara satu lomba mata pelajaran, juara satu khitobah, juara satu lomba volley, peraih NEM tertinggi tingkat kecamatan, dan berbagai prestasi lainnya. Binar kebanggaan itu memantul ke dalam hatiku. Ada rasa haru biru. Ternyata sekolah dengan segala keterbatasan fasilitas tetap mampu meraih prestasi. Aku pun semakin bersemangat mendengar berbagai cerita ibu tentang sekolahku.
Dulu, ketika aku masih sekolah di sekolah ini, tempat favoritku adalah perpustakaan. Perpustakaan dengan rak alakadarnya yang berisi buku-buku dongeng cerita rakyat Indonesia cukup menghiburku dan teman-temanku. Kini, setelah 16 tahun berlalu, tak ada yang berubah dengan perpustakaan itu. Buku-buku cerita rakyat tahun 70an yang kubaca waktu aku masih bersekolah dulu ternyata masih terjajar pula di rak perpustakaan sekolah sekarang ini. Kusam, menguning, bahkan ada beberapa bagian halaman yang lapuk dimakan usia. Tak ada buku baru yang warna-warni. Tak ada ensiklopedi. Dan yang pasti, tak pernah terlintas pula di benak murid-murid bahwa di luar sana terdapat aneka bacaan gratis berupa e-book yang bisa di akses melalui internet. Semuanya masih terasa jauh untuk dijangkau.
Bicara mengenai komputer, sudah tiga bulan ini murid-murid mendapatkan tambahan les komputer dengan membayar 14 ribu per bulan. Dengan tenaga pengajar dari lembaga komputer di kota, murid-murid tampak terkagum-kagum dengan benda berteknologi itu. Satu komputer dipakai beberapa murid sekaligus. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengajar komputer dalam melatih murid-murid secara bergantian menggunakan komputer-komputer yang jumlahnya terbatas tersebut. Waktu belajar pun hanya 1 jam karena para murid harus bergiliran dari kelas satu hingga kelas 6. Ketika selesai, para pengajar pun membawa pulang komputer-komputer tersebut. Tak ada waktu bagi para murid untuk berlama-lama menjelajah dengan benda tersebut.
Aku melihat sendiri bagaimana rona kebahagiaan dan keceriaan terpancar dari mata mereka. Mata-mata yang kehausan akan hal baru. Seakan menemukan oase di padang pasir, mereka siap meneguk tetesan ilmu-ilmu baru yang datang ke desa kami.
Namun, ternyata kebahagiaan itu hanya sebentar. Ibuku bercerita bahwa ada sebagian murid tidak bisa melanjutkan untuk mengikuti pelajaran les komputer karena para orangtua mereka terlalu terbebani dengan biaya bulanan 14 ribu tersebut. Sungguh amat disayangkan memang jika kesempatan dan semangat bereksplorasi harus putus di tengah jalan karena alasan biaya.
Aku pribadi tidak bisa berbuat banyak untuk mereka, selain sekedar membagikan buku-buku cerita/dongeng yang kubeli saat obral di pameran buku di Surabaya. Itu sudah cukup membahagiakan murid-murid yang juga haus akan bacaan-bacaan dan ilmu pengetahuan.
Inilah alasan bagiku untuk mengajukan sekolahku mendapatkan komputer gratis. Harapannya, dengan adanya komputer di sekolah, murid-murid bisa dengan leluasa bereksplorasi dengan berbagai pengetahuan dan teknologi informasi. Komputer juga bisa memudahkan para murid dalam mengakses internet sehingga wawasan mereka semakin luas.
_________________________Masih ku ingat saat pertama kali aku diantar nenekku pergi ke sekolah. Ketika sampai di sana, tampak murid-murid baru yang sama cemasnya denganku dalam memasuki sebuah lingkungan baru. Kenangan demi kenangan masih terekam erat di kepalaku. Dengan keterbatasan yang ada, kami, tetap semangat menggapai impian dan cita-cita.
Sekolahku terdiri dari tujuh ruangan kala itu. Enam ruangan dibagi untuk kelas 1 hingga kelas 6, dan 1 ruangan untuk ruang guru, merangkap ruang kepala sekolah, ruang sholat, perpustakaan, UKS, bahkan gudang. Tak ada guru untuk masing-masing bidang studi. Satu guru bisa melakukan one stop teaching untuk murid-muridnya. Benar-benar guru yang hebat menurutku.
Tiap tahun ajaran baru, para guru selalu cemas dengan jumlah murid yang mendaftar di sekolah. Para guru harus mengeluarkan energi tambahan untuk mendapatkan murid-murid baru agar sekolah kami tetap hidup. Keterbatasan fasilitas membuat sekolah ini semakin terpinggirkan. Mayoritas yang bersekolah di sekolah ini adalah murid-murid yang berasal dari kalangan bawah. Pekerjaan para orang tua murid sebagian besar adalah buruh tani ataupun tukang becak.
Tak ada yang membedakan semangat dan antusias para murid di desa kami dengan murid-murid di sekolah perkotaan. Mereka tetap anak-anak yang haus akan hal-hal baru, pengetahuan baru, dan informasi baru.
Kini, 16 tahun sudah sejak aku pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Tak ada yang berubah dengan sekolahku ini. Keterbatasan masih terlihat disana-sini, bangku-bangku masih sama, ruang-ruang kelas masih sama, sungai di depan sekolahku pun masih tetap sama mengalir derasnya dengan semangat murid-murid di sekolah ini. Tiap melewati sekolahku ini, ada perasaan nostalgia yang indah ketika melihat murid-murid berlarian kesana-kemari, seolah melihat diriku di masa lalu.
Tiap kali aku pulang kampung, aku selalu bertanya perkembangan sekolahku kepada ibuku yang telah berpuluh tahun mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Tiap tahun, ibuku bersama guru-guru yang lain masih saja harus gigih mengajak anak-anak di desa kami untuk bersekolah di tempatnya. Ibuku juga bercerita betapa ia bangga akan prestasi anak didiknya dalam berbagai lomba yang dikompetisikan dengan sekolah-sekolah perkotaan. Ada yang juara satu lomba tartil Al Quran, juara satu lomba mata pelajaran, juara satu khitobah, juara satu lomba volley, peraih NEM tertinggi tingkat kecamatan, dan berbagai prestasi lainnya. Binar kebanggaan itu memantul ke dalam hatiku. Ada rasa haru biru. Ternyata sekolah dengan segala keterbatasan fasilitas tetap mampu meraih prestasi. Aku pun semakin bersemangat mendengar berbagai cerita ibu tentang sekolahku.
Dulu, ketika aku masih sekolah di sekolah ini, tempat favoritku adalah perpustakaan. Perpustakaan dengan rak alakadarnya yang berisi buku-buku dongeng cerita rakyat Indonesia cukup menghiburku dan teman-temanku. Kini, setelah 16 tahun berlalu, tak ada yang berubah dengan perpustakaan itu. Buku-buku cerita rakyat tahun 70an yang kubaca waktu aku masih bersekolah dulu ternyata masih terjajar pula di rak perpustakaan sekolah sekarang ini. Kusam, menguning, bahkan ada beberapa bagian halaman yang lapuk dimakan usia. Tak ada buku baru yang warna-warni. Tak ada ensiklopedi. Dan yang pasti, tak pernah terlintas pula di benak murid-murid bahwa di luar sana terdapat aneka bacaan gratis berupa e-book yang bisa di akses melalui internet. Semuanya masih terasa jauh untuk dijangkau.
Bicara mengenai komputer, sudah tiga bulan ini murid-murid mendapatkan tambahan les komputer dengan membayar 14 ribu per bulan. Dengan tenaga pengajar dari lembaga komputer di kota, murid-murid tampak terkagum-kagum dengan benda berteknologi itu. Satu komputer dipakai beberapa murid sekaligus. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengajar komputer dalam melatih murid-murid secara bergantian menggunakan komputer-komputer yang jumlahnya terbatas tersebut. Waktu belajar pun hanya 1 jam karena para murid harus bergiliran dari kelas satu hingga kelas 6. Ketika selesai, para pengajar pun membawa pulang komputer-komputer tersebut. Tak ada waktu bagi para murid untuk berlama-lama menjelajah dengan benda tersebut.
Aku melihat sendiri bagaimana rona kebahagiaan dan keceriaan terpancar dari mata mereka. Mata-mata yang kehausan akan hal baru. Seakan menemukan oase di padang pasir, mereka siap meneguk tetesan ilmu-ilmu baru yang datang ke desa kami.
Namun, ternyata kebahagiaan itu hanya sebentar. Ibuku bercerita bahwa ada sebagian murid tidak bisa melanjutkan untuk mengikuti pelajaran les komputer karena para orangtua mereka terlalu terbebani dengan biaya bulanan 14 ribu tersebut. Sungguh amat disayangkan memang jika kesempatan dan semangat bereksplorasi harus putus di tengah jalan karena alasan biaya.
Aku pribadi tidak bisa berbuat banyak untuk mereka, selain sekedar membagikan buku-buku cerita/dongeng yang kubeli saat obral di pameran buku di Surabaya. Itu sudah cukup membahagiakan murid-murid yang juga haus akan bacaan-bacaan dan ilmu pengetahuan.
Inilah alasan bagiku untuk mengajukan sekolahku mendapatkan komputer gratis. Harapannya, dengan adanya komputer di sekolah, murid-murid bisa dengan leluasa bereksplorasi dengan berbagai pengetahuan dan teknologi informasi. Komputer juga bisa memudahkan para murid dalam mengakses internet sehingga wawasan mereka semakin luas.
Dear teman-teman semua
Saat ini ada sahabat kita yang sedang memperjuangkan komputer gratis untuk sekolah dasar di desanya. Mohon dukungannya dengan membuka dulu link:
facebook.com/bhinnekacom?v=app_4949752878 (kompetisi sudah ditutup)
Kemudian klik LIKE (Suka) pd tulisan NOMOR URUT 9, judul: “Sekolahku, Dulu dan Kini” by Solikhatul Fatonah Kurniawati
1 klik sangat berarti bagi sekolah tersebut, karena semakin banyak pemberian tanda LIKE (Suka) pada tulisan itu, akan semakin besar kemungkinan sekolah tersebut mendapatkan komputer GRATIS.
Mohon sebarkan pula info ini dengan tag (tandai) teman-teman anda di facebook. Trims.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar