Ketua Fraksi PKB DPR RI
Ada sebuah kisah sufi yang sungguh menarik direnungkan. Suatu hari, Abu Yazid al-Busthami bersama temannya mencuci pakaian di tengah padang. Saat tiba waktu menjemur, sang teman berkata, "Gantung saja pakaian ini di tembok dengan memutar." Mendengar usulan temannya, Abu Yazid kontan menjawab tidak setuju, "Jangan menyelipkan baju di tembok orang." Karena tidak disetujui, sang teman memberikan pilihan lain, "Kalau begitu, jemur saja di pohon." Abu Yazid kembali mencegah, "Jangan, nanti rantingnya bisa patah." Mendapat penolakan kedua kalinya, sang teman mulai heran, "Apakah kita jemur di atas rumput?' Lagi-lagi, Abu Yazid menunjukkan ketidaksenangannya, "Jangan, rumput itu makanan binatang." Serta-merta, Abu Yazid meletakkan pakaian yang masih basah itu di punggungnya. Begitu sisi pakaian kering, ia balik lagi untuk sisi lain hingga kering keseluruhan dan dipakainya kembali.
Sikap dan pandangan sufi ini perlu diangkat ulang di tengah maraknya keinginan untuk menguak kembali kearifan-kearifan lokal (local genius), baik yang bersumber dari keagamaan maupun komunitas lokal dalam rangka turut mengatasi krisis lingkungan dewasa ini.
Dalam pandangan sufi, semua yang ada di alam semesta adalah makhluk Allah yang harus dipiara dan dilindungi. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan juga sekaligus sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Karena alasan tersebut, manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.
Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta. Jika manusia modern cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, para sufi justru melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu, dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.
Alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas, yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi, ide tentang pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosofis.
Dalam keseluruhan karya dan langkah para sufi sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia spiritual. Semua ini tidak berarti hanya cerita-cerita fiktif, tetapi merupakan refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, al-Haqq.
Bagi para sufi, tempat kita hidup sekarang hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga dan hanya melalui tangga itulah manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan.
Pemaknaan khalifah
Salah satu ayat di dalam Alquran yang mengandung nilai antroposentrisme adalah Surah Albaqarah ayat 30, yakni Tuhan hendak menempatkan manusia sebagai khalifah. Menariknya, terdapat dialog Tuhan dengan malaikat soal penempatan manusia sebagai khalifah di bumi. Malaikat mengatakan, mengapa Tuhan menciptakan manusia yang bakalan merusak bumi itu.
Perlu diingat, jika Islam dilihat hanya pada tataran formal melulu, jantung dari Islam itu, yakni tasawuf akan terabaikan begitu saja. Padahal, pandangan tasawuf inilah yang dapat menjelaskan pengertian khalifah secara baik.
Dalam tradisi tasawuf, manusia adalah lokus manifestasi diri-Nya. Karena Tuhan tidak terbatas, manifestasinya pun tidak terbatas. Sebagaimana manusia, alam pun merupakan manifestasi Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa alam memiliki dimensi spirit atau roh. Dengan demikian, perlakuan manusia terhadap alam memiliki kesetaraan, yakni sama-sama lokus manifestasi Yang Sakral.
Sedangkan khalifah yang dimaksud adalah bagaimana manusia dapat menyerap seluruh manifestasi Tuhan, yang salah satunya adalah alam, ke dalam dirinya. Maka itu, khalifah dimaksud bukanlah dominasi terhadap alam, melainkan bagaimana manusia menghayati Yang Sakral hadir dalam alam. Dan, pada akhirnya manusia dapat memanifestasikan Yang Sakral secara sempurna atau menjadi Manusia Universal (al-Insan al-Kamil). Ketika manusia menjadi Manusia Universal maka relasi manusia dengan alam bukan sebagai suatu hal terpisah, melainkan utuh-padu atau manunggal. Dan, relasi tersebut adalah perwujudan manifestasi nama-nama Yang Sakral.
Dalam menganalisis krisis lingkungan, Seyyed Hussein Nasr dalam bukunya The Encounter of Man and Nature (London, George Allen & Unwin Ltd 1968) bertolak dari pemahaman sufi yang menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalliy) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang tampak (al-syuhud). Jelasnya, Tuhan adalah 'Lingkungan' tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Alquran sendiri menyebutnya Tuhan itu sebagai Al-Muhith (Yang Serba Mencakup). Al-Muhith itu sendiri juga berarti lingkungan.
Kesadaran ini merupakan sebuah upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Dengan melaksanakan segala kewajiban syariat dan memperbanyak zikir untuk mengingat-Nya, berusaha memperkecil perbedaan antara Tuhan yang Mahasuci dan roh manusia yang kotor karena pengaruh hawa nafsu.
Sikap dan pandangan sufi ini perlu diangkat ulang di tengah maraknya keinginan untuk menguak kembali kearifan-kearifan lokal (local genius), baik yang bersumber dari keagamaan maupun komunitas lokal dalam rangka turut mengatasi krisis lingkungan dewasa ini.
Dalam pandangan sufi, semua yang ada di alam semesta adalah makhluk Allah yang harus dipiara dan dilindungi. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan juga sekaligus sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Karena alasan tersebut, manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.
Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta. Jika manusia modern cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, para sufi justru melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu, dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.
Alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas, yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi, ide tentang pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosofis.
Dalam keseluruhan karya dan langkah para sufi sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia spiritual. Semua ini tidak berarti hanya cerita-cerita fiktif, tetapi merupakan refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, al-Haqq.
Bagi para sufi, tempat kita hidup sekarang hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga dan hanya melalui tangga itulah manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan.
Pemaknaan khalifah
Salah satu ayat di dalam Alquran yang mengandung nilai antroposentrisme adalah Surah Albaqarah ayat 30, yakni Tuhan hendak menempatkan manusia sebagai khalifah. Menariknya, terdapat dialog Tuhan dengan malaikat soal penempatan manusia sebagai khalifah di bumi. Malaikat mengatakan, mengapa Tuhan menciptakan manusia yang bakalan merusak bumi itu.
Perlu diingat, jika Islam dilihat hanya pada tataran formal melulu, jantung dari Islam itu, yakni tasawuf akan terabaikan begitu saja. Padahal, pandangan tasawuf inilah yang dapat menjelaskan pengertian khalifah secara baik.
Dalam tradisi tasawuf, manusia adalah lokus manifestasi diri-Nya. Karena Tuhan tidak terbatas, manifestasinya pun tidak terbatas. Sebagaimana manusia, alam pun merupakan manifestasi Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa alam memiliki dimensi spirit atau roh. Dengan demikian, perlakuan manusia terhadap alam memiliki kesetaraan, yakni sama-sama lokus manifestasi Yang Sakral.
Sedangkan khalifah yang dimaksud adalah bagaimana manusia dapat menyerap seluruh manifestasi Tuhan, yang salah satunya adalah alam, ke dalam dirinya. Maka itu, khalifah dimaksud bukanlah dominasi terhadap alam, melainkan bagaimana manusia menghayati Yang Sakral hadir dalam alam. Dan, pada akhirnya manusia dapat memanifestasikan Yang Sakral secara sempurna atau menjadi Manusia Universal (al-Insan al-Kamil). Ketika manusia menjadi Manusia Universal maka relasi manusia dengan alam bukan sebagai suatu hal terpisah, melainkan utuh-padu atau manunggal. Dan, relasi tersebut adalah perwujudan manifestasi nama-nama Yang Sakral.
Dalam menganalisis krisis lingkungan, Seyyed Hussein Nasr dalam bukunya The Encounter of Man and Nature (London, George Allen & Unwin Ltd 1968) bertolak dari pemahaman sufi yang menegaskan bahwa alam merupakan teofani (tajalliy) Tuhan yang menyelimuti dan sekaligus mengungkap kebesaran Tuhan. Lingkungan alam adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan yang tampak (al-syuhud). Jelasnya, Tuhan adalah 'Lingkungan' tertinggi yang mengelilingi dan mengatasi manusia. Alquran sendiri menyebutnya Tuhan itu sebagai Al-Muhith (Yang Serba Mencakup). Al-Muhith itu sendiri juga berarti lingkungan.
Kesadaran ini merupakan sebuah upaya untuk menjembatani jurang yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Dengan melaksanakan segala kewajiban syariat dan memperbanyak zikir untuk mengingat-Nya, berusaha memperkecil perbedaan antara Tuhan yang Mahasuci dan roh manusia yang kotor karena pengaruh hawa nafsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar