Fikih Muslimah
Oleh Yusuf Assidiq
Seorang suami wajib menafkahi istrinya dengan cara yang ma'ruf (baik).
Hidup berumah tangga ibarat mengarungi samudera. Terkadang tenang, namun sesekali datang ombak besar yang akan menguji ketangguhan biduk rumah tangga. Kehidupan pasangan suami-istri dalam berumah tangga pun banyak dihadapkan pada kerikil-kerikil serta pernik-pernik hidup.
''Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan istri,'' papar Guru Besar Psikologi Islam, Prof Ahmad Mubarok dalam bukunya bertajuk Psikologi Keluarga. Menurut dia, jika keunikan suami dan istri bersinergi, maka rumah tangga yang sakinah bisa tercapai.
Selain mampu mempersatukan dua keunikan, pasangan suami-istri pun harus memahami hak dan kewajiban masing-masing. Salah satu ketentuan yang paling mendasar dalam sebuah rumah tangga, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dengan cara yang halal dan baik.
Secara harfiah, nafkah berarti harta atau semacamnya yang diinfakkan atau dibelanjakan oleh seseorang. Sedangkan secara istilah, nafkah merupakan kewajiban suami atas istri dan anak-anaknya berupa uang, sandang, pangan, tempat tinggal dan sebagainya.
Alquran surat al-Baqarah ayat 233 menyebutkan, ''Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.'' Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, kewajiban memberikan nafkah dengan ma'ruf adalah berdasarkan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku, dengan tanpa berlebihan, serta tanpa bakhil (menyempitkan).
''Juga disesuaikan dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya dan kesempitannya,'' ungkap Ibnu Katsir. Terkait nafkah, baik Alquran maupun hadis memang tidak menyebutkan kadar atau ukuran tertentu yang semestinya diberikan. Alquran hanya menggariskan nafkah yang diberikan seorang suami untuk istri dan anaknya haruslah ma'ruf.
Sedangkan Rasulullah SAW menetapkan nafkah harus bisa mencukupi istri dan anaknya. Menurut Ibnu Taimiyah, syariat memang tidak menetapkan berapa jumlah nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, ketentuannya berdasarkan tiap-tiap wilayah, keadaan ekonomi suami istri dan kebiasaan keduanya.
Lalau bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah kepada istri dan anaknya? Para ulama dan fukaha memandang masalah ini sebagai salah satu pemicu keretakan biduk rumah tangga. Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qardhawi sangat menyesalkan jika ada suami yang enggan melaksanakan kewajibannya menafkahi istri dan anaknya.
Ketua Persatuan Ulama Internasional itu mengidentikkan tindakan suami yang tak menafkahi istrinya sebagai tindakan membelenggu leher istri. ''Dia tidak memberinya belanja yang mencukupi dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang logis,'' paparnya.
Adapun Syekh Ibrahim Muhammad al-Jamal berpendapat jika suami tak memenuhi kewajibannya itu sebuah biduk rumah tangga akan rentan karam. Menurutnya, istri bisa menuntut cerai kepada suaminya apabila tidak lagi tak menafkahi. Hal itu, sambung dia, merupakan bagian dari hak istri atas suaminya.
''Istri bisa mengajukan gugatan cerai kepada hakim apabila mengalami penderitaan terus menerus. Maka itu, dia boleh menuntut cerai,'' paparnya dalam buku /Fiqih Wanita/. Sejatinya, pendapat itu merujuk kepadapada Imam Malik, Imam Asyafi'i, serta Imam Ahmad yang membolehkan perceraian lewat keputusan hakim jika suami tidak lagi memberi nafkah.
Dalam pandangan mereka, tidak memberi nafkah berarti tidak dapat mempertahankan istri dengan cara yang ma'ruf. Meski begitu, lanjut Syekh Ibrahim Muhammad, dalam Islam perceraian adalah sesuatu yang boleh dilakukan, tapi sangat dibenci Allah. Sehingga, pada masalah ini hendaknya diketahui dulu penyebab suami tidak lagi memberikan nafkah.
Syekh al Qardhawi melihat ada tipe suami yang kikir dan pelit terhadap istrinya. ''Tidak selayaknya suami bersifat kikir dalam memberi belanja kepada istri,'' urai Syekh al Qardhawi mengutip pendapat Imam Ghazali dalam buku /Fatwa Kontemporer/.
Adapun Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar menambahkan ada kalanya ketiadaan pemberian nafkah itu lantaran suami memang tidak mampu, baik akibat dipecat dari pekerjaannya, atau karena menderita sakit. Mengenai hal ini, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyarankan supaya istri bisa bersabar terhadap kesusahan suaminya.
Ia juga hendaknya terus mendampingi bahkan membantu semampunya. Sebuah pasangan yang mampu mempersatukan dua keunikan akan dapat bertahan dalam gelombang besar dan badai sekalipun. Menurut Prof Mubarok, sesungguhnya, Tuhan telah menjamin rezeki hambanya. Rezeki yang diberikan lewat suami atau pun istri haruslah dipandang sebagai rezeki bersama sekeluarga.
Oleh Yusuf Assidiq
Seorang suami wajib menafkahi istrinya dengan cara yang ma'ruf (baik).
Hidup berumah tangga ibarat mengarungi samudera. Terkadang tenang, namun sesekali datang ombak besar yang akan menguji ketangguhan biduk rumah tangga. Kehidupan pasangan suami-istri dalam berumah tangga pun banyak dihadapkan pada kerikil-kerikil serta pernik-pernik hidup.
''Rumah tangga adalah mempersatukan dua keunikan, keunikan suami dan keunikan istri,'' papar Guru Besar Psikologi Islam, Prof Ahmad Mubarok dalam bukunya bertajuk Psikologi Keluarga. Menurut dia, jika keunikan suami dan istri bersinergi, maka rumah tangga yang sakinah bisa tercapai.
Selain mampu mempersatukan dua keunikan, pasangan suami-istri pun harus memahami hak dan kewajiban masing-masing. Salah satu ketentuan yang paling mendasar dalam sebuah rumah tangga, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dengan cara yang halal dan baik.
Secara harfiah, nafkah berarti harta atau semacamnya yang diinfakkan atau dibelanjakan oleh seseorang. Sedangkan secara istilah, nafkah merupakan kewajiban suami atas istri dan anak-anaknya berupa uang, sandang, pangan, tempat tinggal dan sebagainya.
Alquran surat al-Baqarah ayat 233 menyebutkan, ''Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.'' Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, kewajiban memberikan nafkah dengan ma'ruf adalah berdasarkan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku, dengan tanpa berlebihan, serta tanpa bakhil (menyempitkan).
''Juga disesuaikan dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya dan kesempitannya,'' ungkap Ibnu Katsir. Terkait nafkah, baik Alquran maupun hadis memang tidak menyebutkan kadar atau ukuran tertentu yang semestinya diberikan. Alquran hanya menggariskan nafkah yang diberikan seorang suami untuk istri dan anaknya haruslah ma'ruf.
Sedangkan Rasulullah SAW menetapkan nafkah harus bisa mencukupi istri dan anaknya. Menurut Ibnu Taimiyah, syariat memang tidak menetapkan berapa jumlah nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri dan anak-anaknya. Akan tetapi, ketentuannya berdasarkan tiap-tiap wilayah, keadaan ekonomi suami istri dan kebiasaan keduanya.
Lalau bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah kepada istri dan anaknya? Para ulama dan fukaha memandang masalah ini sebagai salah satu pemicu keretakan biduk rumah tangga. Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qardhawi sangat menyesalkan jika ada suami yang enggan melaksanakan kewajibannya menafkahi istri dan anaknya.
Ketua Persatuan Ulama Internasional itu mengidentikkan tindakan suami yang tak menafkahi istrinya sebagai tindakan membelenggu leher istri. ''Dia tidak memberinya belanja yang mencukupi dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang logis,'' paparnya.
Adapun Syekh Ibrahim Muhammad al-Jamal berpendapat jika suami tak memenuhi kewajibannya itu sebuah biduk rumah tangga akan rentan karam. Menurutnya, istri bisa menuntut cerai kepada suaminya apabila tidak lagi tak menafkahi. Hal itu, sambung dia, merupakan bagian dari hak istri atas suaminya.
''Istri bisa mengajukan gugatan cerai kepada hakim apabila mengalami penderitaan terus menerus. Maka itu, dia boleh menuntut cerai,'' paparnya dalam buku /Fiqih Wanita/. Sejatinya, pendapat itu merujuk kepadapada Imam Malik, Imam Asyafi'i, serta Imam Ahmad yang membolehkan perceraian lewat keputusan hakim jika suami tidak lagi memberi nafkah.
Dalam pandangan mereka, tidak memberi nafkah berarti tidak dapat mempertahankan istri dengan cara yang ma'ruf. Meski begitu, lanjut Syekh Ibrahim Muhammad, dalam Islam perceraian adalah sesuatu yang boleh dilakukan, tapi sangat dibenci Allah. Sehingga, pada masalah ini hendaknya diketahui dulu penyebab suami tidak lagi memberikan nafkah.
Syekh al Qardhawi melihat ada tipe suami yang kikir dan pelit terhadap istrinya. ''Tidak selayaknya suami bersifat kikir dalam memberi belanja kepada istri,'' urai Syekh al Qardhawi mengutip pendapat Imam Ghazali dalam buku /Fatwa Kontemporer/.
Adapun Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar menambahkan ada kalanya ketiadaan pemberian nafkah itu lantaran suami memang tidak mampu, baik akibat dipecat dari pekerjaannya, atau karena menderita sakit. Mengenai hal ini, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyarankan supaya istri bisa bersabar terhadap kesusahan suaminya.
Ia juga hendaknya terus mendampingi bahkan membantu semampunya. Sebuah pasangan yang mampu mempersatukan dua keunikan akan dapat bertahan dalam gelombang besar dan badai sekalipun. Menurut Prof Mubarok, sesungguhnya, Tuhan telah menjamin rezeki hambanya. Rezeki yang diberikan lewat suami atau pun istri haruslah dipandang sebagai rezeki bersama sekeluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar