1901. Tahun itu bukan sekadar tahun pertama abad ke-20 yang juga ditandai dengan kelahiran Soekarno. Di tahun itu, terdapat peristiwa yang kita--seabad lebih sesudahnya--perlu belajar buat membangun bangsa. Peristiwa tersebut terkait dengan kunjungan Raja Siam ke Jawa yang saat itu menjadi kekuasaan Hindia Belanda.
Sang Raja bukan hanya ingin melebarkan kekuasaan dengan mencaplok Patani di peralihan abad itu hingga kawasan tersebut sampai sekarang menjadi wilayah Thailand. Melainkan, ia juga ingin menjadi pemimpin besar yang mampu memakmurkan masyarakatnya. Untuk itu, raja merasa perlu studi banding ke Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Ada beberapa kemajuan Jawa yang membuatnya tertarik.
Pertanian Hindia Belanda maju pesat. Kawasan ini menjadi pengekspor sejumlah komoditas ke pasar dunia. Di antaranya adalah gula. Industri pertanian berkembang maju pada zamannya. Sarana transportasi sangat memadai, baik dalam wujud jaringan kereta api maupun pelabuhan laut modern seperti di Surabaya. Thailand ingin menjadi seperti itu. Tentu ia berkunjung Keraton Solo, selain juga ke tanah Parahyangan--kawasan yang menurut seloroh diciptakan Tuhan sambil tersenyum.
Sangat banyak yang diperoleh Raja Siam dari kunjungan itu. Kemajuan Thailand saat ini adalah hasil kepedulian kerajaan pada bidang pertanian. Itu tak lepas dari studi banding ke kawasan Nusantara ini lebih seabad silam. Para tukang kebun Kerajaan Siam bahkan didatangkan dari Jawa, yakni para tukang kebun keraton. Namun, lebih dari urusan kebun dan pertanian, Thailand ternyata juga mengimpor sastra klasik Nusantara ini untuk membangun karakter bangsa.
Pembangunan karakter bangsa di Thailand dilakukan dari sekolah-sekolah. Medium yang digunakannya adalah cerita-cerita Menak yang diadaptasi dari cerita Menak Indonesia. Saat di sini cerita Menak telah dilupakan, di Thailand justru menjadi pengajaran wajib. Seorang Thailand yang menulis disertasi tentang cerita 'Menak' tutur kawan menyebut bahwa sastra klasik itu efektif dalam membangun spirit kebangsaan masyarakat Thailand. Karya-karya tersebut menjadi semacam cerita sejarah Cina yang dikemas dalam bentuk cerita-cerita silat. Cerita demikian berperan penting dalam membentuk jiwa kebangsaan Cina.
Siam atau Thailand yang seabad lalu telah belajar ke negeri ini telah lebih maju dari kita. Di bidang pertanian dan pangan, mereka telah menjadi salah satu pemain penting dunia. Bahkan juga, di dunia industri. Semua itu tak lepas dari karakter bangsa yang terus mereka bangun, antara lain, melalui karya-karya sastra. Sedangkan kita, selama ini cenderung menempatkan budaya semata sebagai pelengkap. Budaya paling hanya diposisikan sebagai tontonan, dan belum menjadi landasan bagi kemajuan bangsa secara menyeluruh. Apalagi, sastra yang lebih dipandang sebagai urusan pinggiran.
Upaya Kementerian Pendidikan Nasional selama bertahun-tahun untuk sekadar menyelenggarakan olimpiade sastra pun tak kunjung mendapat dukungan. Baru tahun ini, gagasan tersebut mulai mengerucut. Meskipun pada tingkat yang masih terbatas, langkah mengangkat sastra akan dapat diwujudkan. Mudah-mudahan itu menjadi awal baik bagi apresiasi sastra di Indonesia. Tidak hanya oleh kalangan sastrawan, tetapi juga seluruh bangsa. Sudah sangat terang, betapa besar peran sastra dalam pembangunan budi pekerti atau karakter bangsa. Tak ada bangsa maju yang tak menjadikan sastra sebagai pilar pembangun karakternya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar