Dimotori oleh pemusik Slamet Andul Syukur, Akademi Jakarta (AJ) bersama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), selama tiga hari (21-23 Jan 2010) mengadakan seminar dengan tema Mengatasi Polusi Kebisingan, bertempat di Wisma PGI, Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat. Dalam seminar ini diundang para pakar THT, neurologi, akustik, lingkungan, sosiologi, dan hukum.
Tujuan seminar ada dua: a. merumuskan masalah polusi kebisingan; b. mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Dalam beberapa rapat AJ sebelumnya, di samping istilah polusi kebisingan juga dipakai istilah polusi suara yang dijadikan judul Resonansi ini.
Dari sisi bahasa, perkataan polusi (pollution ) berasal dari bahasa Latin polluere , kemudian dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja menjadi to pollute (membuat kumuh, kotor, tidak murni, atau merusak, sehingga berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental). Dalam kamus Longman: Dictionary of Contemporary English , ada pula kalimat ini: Violence on television is polluting the minds of children (Kekerasan dalam tayangan tv sedang merusak minda anak-anak).
Artinya tayangan seperti itu dapat mengotori pikiran dan perasaan anak-anak, bahkan dapat membuat karakter mereka menjadi kumuh dan kejam. Dalam contoh ini, polusi sudah memasuki ranah yang lebih luas: ranah pemandangan.
Di samping dua tujuan yang hendak dicapai, ada pula dua sasaran: panjang dan pendek, yang hendak didiskusikan oleh seminar ini. Sasaran jangka panjang dirumuskan dalam formula: Menyelamatkan seluruh rakyat Indonesia dari bahaya polusi kebisingan yang mengerikan, tetapi belum banyak disadari. Korbannya secara psikis, biologis, dan ekonomis sudah berjatuhan, tetapi dianggap belum sebagai bahaya nasional.
Maka, untuk mencegah bahaya serius yang lebih jauh, diperlukan strategi dan kerja keras yang efisien dan efektif. Pilihan lain tidak ada. Untuk sasaran jangka pendek adalah: Menyebarluaskan kesadaran tentang bahaya polusi kebisingan melalui berbagai program yang berkesinambungan.
Anggota AJ umumnya sudah berkepala enam, tujuh, dan bahkan delapan. Tujuan warga renta ini hanya satu: hari depan Indonesia harus diselamatkan, jangan terus dikotori oleh perbuatan kumuh anak-anaknya yang tidak tahu diri. Titik! Tidak ada lagi agenda-agenda kekuasaan yang ingin diraih; tidak ada lagi kekayaan duniawi yang sedang diimpikan, sekalipun sebagian mereka menjalani hidup di tapal batas kesederhanaan.
Beberapa anggota AJ sudah dibantu tongkat agar tetap dapat bergerak, tetapi mereka adalah warga negara setia dan sangat sadar tentang nilai tanggung jawab. Mereka akan menangis, manakala bangsa ini seperti tidak ada yang mengurus secara lurus dan sungguh-sungguh.
Kemubaziran dan korupsi berjibun di mana-mana, sementara jumlah anak jalanan sebagai generasi yang akan hilang akibat kemiskinan tidak semakin berkurang. Sebagian anak-anak tak berdaya ini telah menjadi korban sodomi dari orang tua yang terlihat santun dan dermawan. Indonesia sarat oleh beragam kontradiksi, sementara visi ke depan sebagian politisi kita telah lama mati suri.
Selanjutnya, saya ingin memberikan kasus konkret tentang polusi suara ini. Sekalipun penduduk pantai barat Sumatra masih saja dicekam oleh kemungkinan terjadinya gempa besar dan tsunami, angkot-angkot di Kota Padang tetap saja menjadi salah satu sumber polusi suara yang sangat tidak beradab.
Mungkin karena sudah berlangsung lama, suara-suara kaset yang diputar dengan melengking sehingga menyakitkan anak terlinga, para penompang tampaknya tidak ada yang protes. Hampir tidak ada yang menyadari bahwa polusi suara semacam itu akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan fisik dan jiwa mereka.
Tidak hanya sebatas itu. Angkot-angkot pun dihiasi dengan beraneka gambar penuh warna. Di ruang tempat duduk yang bergelincit (penuh sesak) itu asap rokok pun mengepul, sehingga menjadi sempurnalah penderitaan mereka yang tak terbiasa dengan lingkungan sumpek semacam itu.
Orang Minang yang sudah lama merantau, kemudian pulang kampung sekali-sekali, harus siap siaga menghadapi polusi semacam ini. Pasti akan timbul perasaan minoritas dalam kondisi angkot yang saling berebut penumpang itu. Saya tahu para sopir yang menambang adalah warga yang sedang mencari sesuap nasi. Penghasilan rata-rata mereka hanyalah sebatas agar dapur tidak berhenti berasap.
Karena tekanan hidup dan persaingan yang keras, boleh jadi mereka tidak sempat memahami bahwa polusi suara yang berasal dari kaset yang diputar sungguh berbahaya dan merusak. Inilah panorama lain dari Republik Pancasila setelah hampir 65 tahun kita meninggalkan era proklamasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar