Sore itu, setelah percakapan panjang di warung kopi, Ghafi memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang universitas yang menyediakan jurusan teknik hidrolika. Dia mengayuh sepeda tuanya melewati jalanan desa yang berdebu, menuju rumah Pak Karman, kepala desa sekaligus satu-satunya orang di kampung yang memiliki koneksi internet.
Pak Karman sedang duduk di beranda, sibuk membetulkan antena TV yang miring. "Eh, Ghafi! Ada apa? Tumben sore-sore ke sini," sapanya ramah, sambil melap tangan dengan kain usang.
"Pak, saya mau pinjam internetnya sebentar. Mau cari info universitas," jawab Ghafi dengan senyum malu-malu.
"Universitas? Wah, bagus! Masuk, masuk. Gunakan saja komputernya, asal jangan buka yang aneh-aneh," candanya sambil tertawa.
Di ruang tamu yang sempit, Ghafi duduk di depan komputer tua yang tersambung ke modem. Kecepatan internetnya memang lambat, tapi cukup untuk membuka beberapa laman. Dia mengetik “jurusan teknik hidrolika terbaik di Indonesia” di kolom pencarian, dan dalam beberapa detik, daftar universitas muncul di layar.
Matanya terpaku pada satu nama: Universitas Teknologi Nusantara. Kampus itu terkenal dengan program tekniknya, terutama di bidang hidrolika dan rekayasa lingkungan. Lokasinya ada di kota besar, sekitar enam jam perjalanan dari desanya.
“Ini dia,” bisik Ghafi pada dirinya sendiri.
Namun, ketika dia membaca lebih jauh, rasa gugup mulai menyelinap. Biaya kuliah, ujian masuk, persyaratan dokumen—semua itu terasa seperti tembok besar yang harus dia panjat. Apakah dia benar-benar sanggup melewati semua ini?
Percakapan di Bawah Pohon Mangga
Hari berikutnya, Ghafi duduk di bawah pohon mangga di halaman rumah, sebuah buku catatan terbuka di pangkuannya. Dia sedang mencoba menyusun rencana: dari cara mendaftar hingga memikirkan bagaimana dia akan membiayai kuliah. Tapi pikirannya terus melompat-lompat, sulit fokus.
“Fi! Ngapain melamun?” suara Jaka muncul dari arah pagar. Dia masuk tanpa izin, seperti biasa. Tak lama kemudian, Sari menyusul, membawa kantong plastik berisi gorengan.
“Kalian kenapa sih selalu muncul tiba-tiba?” tanya Ghafi sambil menyandarkan tubuh ke batang pohon.
“Kami khawatir kamu kebanyakan mikir, terus lupa makan,” jawab Sari sambil menyerahkan sepotong tempe goreng padanya. “Udah dapet info kampus?”
“Udah,” jawab Ghafi, mengambil tempe itu. “Namanya Universitas Teknologi Nusantara. Tapi kayaknya susah banget masuk ke sana. Biayanya mahal, dan saingannya pasti banyak.”
Jaka duduk bersila di depannya, wajahnya serius untuk ukuran Jaka. “Fi, kamu kan pintar. Kamu bisa belajar lebih keras buat lulus ujian masuk. Soal biaya, kamu bisa cari beasiswa. Kalau nggak, ya kita pikirkan bareng-bareng.”
“Kamu yakin bisa bantu mikir, Ja?” Sari menyela sambil tertawa. “Kamu sendiri bingung mau masuk jurusan apa.”
“Eh, nggak usah bahas aku,” Jaka balas sambil tersenyum. “Kita bahas Ghafi dulu. Kamu punya modal utama, Fi: kemauan. Sisanya tinggal kita cari cara.”
Kata-kata itu membuat Ghafi termenung. Memang benar, dia punya mimpi besar. Tapi apakah mimpi itu cukup untuk membawanya sejauh ini?
“Aku akan coba,” ujar Ghafi akhirnya, suaranya mantap. “Aku akan daftar dan cari beasiswa. Kalau aku gagal, ya aku coba lagi. Tapi aku nggak akan berhenti di sini.”
Jaka dan Sari tersenyum lebar, lalu menepuk-nepuk punggungnya. “Itu baru Ghafi Kusuma!” seru mereka hampir bersamaan.
Langkah Awal
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarganya, Ghafi mengurung diri di kamarnya. Dia mengambil buku catatannya, mencatat semua informasi yang dia temukan tentang Universitas Teknologi Nusantara. Dia juga mulai membuat daftar dokumen yang perlu dia siapkan: fotokopi ijazah, nilai rapor, surat rekomendasi, dan esai pribadi.
Saat menulis esai, tangannya berhenti di tengah kalimat. Bagaimana dia bisa menceritakan mimpinya dalam kata-kata? Dia ingin menjadi seseorang yang bisa membawa perubahan melalui air, tapi apakah itu cukup untuk meyakinkan panitia seleksi?
Dia memandang ke luar jendela, melihat bulan purnama yang menggantung di langit. Bayangan masa kecilnya terlintas di pikirannya: bagaimana dia sering membantu ibunya mengangkut air dari sumur yang jauh, bagaimana dia pernah melihat tetangganya harus membeli air mahal karena sumur mereka mengering.
“Kamu nggak cuma mau belajar,” gumam Ghafi pada dirinya sendiri. “Kamu mau membuat perbedaan.”
Dengan keyakinan baru, dia melanjutkan tulisannya. Kata demi kata mengalir, membentuk cerita tentang mimpinya, perjuangannya, dan alasan mengapa dia ingin belajar hidrolika.
Di luar, suara jangkrik terdengar merdu, seolah menyemangatinya. Ghafi tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Tapi dia juga tahu, selama dia terus melangkah, dia akan menemukan jalannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar