Ghafi Kusuma berdiri di depan papan pengumuman yang terpasang di dinding aula sekolah, tubuhnya setengah tertutup bayangan tiang besar yang menopang atap bangunan tua itu. Botol plastik berisi air putih di tangannya terasa lebih berat dari biasanya, meskipun setengah isinya sudah dia minum. Di sekelilingnya, kerumunan siswa sibuk mendorong-dorong, berusaha mengintip deretan nama yang terpampang rapi.
Di sudut mata, dia menangkap bayangan Jaka berlari mendekat. Temannya itu, seperti biasa, membawa semangat seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. Rambut keriting Jaka yang agak acak-acakan terlihat melambai-lambai mengikuti gerakannya.
"Ayo, Fi! Kamu ngapain bengong di sini? Cepat cari namamu! Masa kalah sama aku?" seru Jaka dengan suara yang nyaris seperti teriakan. Dia menyenggol lengan Ghafi dengan cukup keras sehingga botol air Ghafi hampir terlepas.
"Sabar, Ja," ujar Ghafi, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
"Ah, kamu ini! Nggak seru banget. Kalau aku jadi kamu, langsung loncat ke depan," kata Jaka, lalu tanpa menunggu jawaban, dia menyambar tangan Ghafi dan menyeretnya menuju papan pengumuman.
Kerumunan siswa agak menyulitkan, tapi Jaka selalu punya caranya sendiri. Dengan kecekatan seperti pemain bola, dia menyelinap di antara celah-celah orang hingga berhasil berdiri tepat di depan daftar nama yang tertulis rapi. Nama-nama itu tersusun dalam dua kolom panjang, diurutkan berdasarkan abjad.
Mata Ghafi menyusuri kolom pertama dengan gugup. Tidak ada. Dia beralih ke kolom kedua, jantungnya semakin kencang berdebar. Dan di sanalah, di tengah-tengah daftar, dia menemukannya:
Ghafi Kusuma. Lulus.
"Oh! Ada, Fi! Kamu aman!" seru Jaka, ekspresinya penuh kemenangan seperti dialah yang menulis nama itu sendiri. "Pak Herman harus minta maaf sekarang. Ingat nggak dia bilang kamu bakal gagal?"
Ghafi hanya tertawa kecil, meski ingatan tentang komentar sinis Pak Herman terasa segar. Guru fisika mereka itu sering meragukan kemampuan Ghafi, apalagi saat dia mengatakan ingin masuk jurusan teknik.
“Lihat, Fi. Nama kamu lebih keren kalau dicetak di daftar kayak gini,” Jaka melanjutkan, menunjuk nama Ghafi dengan jari telunjuknya. “Bisa jadi seleb lokal ini!”
Namun sebelum Ghafi sempat menanggapi, suara riuh di belakang mereka menarik perhatian. Sari, gadis yang selalu penuh kejutan dengan gaya bicara ceplas-ceplosnya, muncul dari kerumunan. Pipinya merona merah karena kegirangan.
“Aku lulus juga!” serunya lantang, membuat beberapa siswa menoleh. “Astaga, aku nggak nyangka. Kalau aku nggak lulus, habis sudah nama baik keluarga besar!”
Ghafi dan Jaka tertawa mendengar candaan itu. Sari selalu punya cara untuk mencairkan suasana, bahkan di momen seperti ini. Dia mendekat, berdiri di antara mereka, dan ikut memandangi daftar nama.
“Eh, Ghafi,” katanya sambil mengangkat alis. “Jadi, kamu mau ke mana setelah ini? Udah kepikiran belum?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi seperti bom waktu di kepala Ghafi. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku... aku mau daftar ke teknik hidrolika.”
“Hidrolika?!” Sari dan Jaka berseru hampir bersamaan, dengan nada yang lebih terkejut daripada kagum.
“Serius, Fi? Mau jadi ahli pipa?” Jaka menambahkan dengan nada menggoda, matanya bersinar penuh keisengan. “Nanti kalau ada pipa bocor di rumah, kita panggil kamu aja. Gratis, ya?”
Ghafi memutar matanya, meski senyum kecil muncul di bibirnya. Candaan seperti itu memang khas dari mereka.
“Bukan cuma soal pipa, Ja,” jawab Ghafi, mencoba serius. “Hidrolika itu soal air, energi, cara mengelola sumber daya. Aku pengen belajar cara kerja mesin-mesin yang bisa mengolah air, yang bisa membantu orang banyak.”
Sari menyilangkan tangan di dada, wajahnya berubah serius. “Wah, hebat juga kamu, Fi. Kalau aku sih nggak bakal kepikiran sejauh itu. Tapi kayaknya keren juga ya, jadi ahli air? Kaya insinyur gitu.”
“Tunggu dulu, tunggu!” potong Jaka sambil tertawa. “Ini Ghafi yang kita kenal, kan? Si pendiam yang cuma ngomong kalau ditanya? Sejak kapan kamu punya cita-cita setinggi itu?”
“Sejak aku sadar kalau air itu penting, Ja,” jawab Ghafi sambil tersenyum tipis.
Candaan dan tawa kembali mengalir, tapi di hati Ghafi, ada sesuatu yang lain. Mimpi itu, meski terdengar sederhana bagi sebagian orang, adalah segalanya baginya. Dia tumbuh di sebuah desa kecil yang sering kesulitan mendapatkan air bersih. Setiap kali melihat ibunya kesulitan mencuci atau memasak karena air sumur mengering, Ghafi merasa harus melakukan sesuatu.
Dari situlah, keinginannya untuk belajar teknik hidrolika muncul. Dia ingin memahami cara kerja teknologi yang bisa membawa air ke tempat-tempat yang membutuhkannya. Namun, apakah mimpinya bisa benar-benar terwujud? Pertanyaan itu tetap menggantung di pikirannya saat dia dan teman-temannya meninggalkan aula.
Di luar, matahari bersinar terang. Udara pagi mulai berubah hangat. Siswa-siswa berkumpul dalam kelompok kecil, berbagi cerita tentang rencana mereka setelah lulus.
“Aku sih mau masuk jurusan komunikasi,” kata Sari, memecah lamunan Ghafi. “Biar bisa jadi penyiar radio atau pembawa acara TV.”
“Kalau aku, kayaknya masuk ekonomi,” ujar Jaka sambil memasukkan tangannya ke saku. “Biar bisa jadi orang kaya.”
Ghafi tertawa kecil mendengar jawaban itu. Teman-temannya selalu punya cara untuk membuat segala sesuatu terasa ringan. Tapi jauh di dalam hati, dia tahu perjalanannya akan berbeda. Tidak akan mudah, tapi dia yakin itu layak diperjuangkan.
Sambil berjalan menuju gerbang sekolah, Ghafi menenggak sisa air di botolnya. Rasa segar itu mengingatkannya pada tujuan yang lebih besar, seperti air yang selalu mencari jalannya sendiri untuk mengalir maju.
Hari ini hanyalah awal. Perjalanan panjang telah menantinya, dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk melangkah dengan keyakinan penuh, apa pun yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar