Seluruh Arsip

Ghafi dan Perjalanan Hidrolika: Bagian 4 - Langkah di Tengah Keraguan


 

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika Ghafi sudah bersiap. Dia mengenakan baju rapi—kemeja biru muda yang disetrika ibunya semalam—dan membawa map plastik berisi dokumen-dokumen yang ia kumpulkan selama seminggu terakhir. Tujuannya hari ini adalah Kantor Pos di kota terdekat untuk mengirimkan berkas pendaftaran ke Universitas Teknologi Nusantara.

Bu Ratna berdiri di depan pintu rumah, menatap anaknya dengan campuran bangga dan cemas. “Hati-hati di jalan, ya, Fi. Kalau ada apa-apa, kabari Ibu.”

“Iya, Bu,” jawab Ghafi sambil tersenyum tipis.

Saat ia menaiki angkot yang akan membawanya ke kota, pikiran Ghafi dipenuhi berbagai skenario. Apa jadinya jika berkasnya hilang di perjalanan? Bagaimana jika esainya tidak cukup meyakinkan? Ia mencoba mengusir semua ketakutan itu dengan mengingatkan dirinya akan tujuannya.

Di tengah perjalanan, ponselnya berbunyi. Nama Jaka muncul di layar.

“Fi! Kamu udah di mana? Aku sama Sari mau nyusul ke kota. Kita makan bakso bareng!” seru Jaka dari seberang telepon, suaranya begitu lantang hingga sopir angkot sempat melirik.

“Makan bakso? Aku lagi urusan penting, Ja,” balas Ghafi, setengah jengkel.

“Itu kan bisa nunggu. Lagian, siapa tahu kamu butuh support moral dari kita. Ayo, tunggu kami di terminal!”

Ghafi hanya mendesah. Dia tahu percuma menolak ajakan Jaka.

Di Kantor Pos

Setibanya di Kantor Pos, Ghafi langsung menuju loket. Antrean cukup panjang, tapi ia tetap sabar menunggu sambil memastikan semua dokumennya sudah lengkap. Saat gilirannya tiba, petugas di balik loket menyambutnya dengan senyuman ramah.

“Selamat pagi, Dik. Mau kirim apa?” tanya petugas itu.

“Berkas pendaftaran universitas, Pak,” jawab Ghafi sambil menyerahkan mapnya.

Petugas itu memeriksa isi map dengan teliti, lalu berkata, “Ini tujuan ke kota besar, ya? Pilih layanan reguler atau ekspres?”

Ghafi berpikir sejenak. Uang di dompetnya hanya cukup untuk layanan reguler, jadi dia memilih itu. Setelah selesai, dia menerima tanda terima dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak keluar.

Di luar, Jaka dan Sari sudah menunggunya di warung kecil dekat kantor pos. Sari melambaikan tangan dengan penuh semangat.

“Fi, sini cepat! Baksonya udah dateng!” teriaknya.

Ghafi menghampiri mereka sambil tersenyum lelah. Jaka sudah mengaduk baksonya, sementara Sari sibuk memotret semangkuk baksonya untuk diunggah ke media sosial.

“Jadi, berkasnya udah dikirim?” tanya Jaka sambil menyuap satu butir bakso ke mulutnya.

“Udah,” jawab Ghafi singkat.

“Wah, berarti sekarang tinggal nunggu pengumuman, ya?” Sari menambahkan.

Ghafi mengangguk. “Iya, tapi prosesnya masih panjang. Aku harus lulus ujian seleksi dulu, dan itu pasti susah.”

“Fi, jangan terlalu banyak mikir,” ujar Jaka sambil menepuk bahu temannya. “Kamu udah kerja keras sampai tahap ini. Tinggal kasih yang terbaik pas ujian nanti.”

Sari mengangguk setuju. “Benar, Fi. Kamu udah punya visi yang jelas. Nggak banyak orang kayak kamu, lho. Jadi, jangan gampang nyerah.”

Kata-kata teman-temannya membuat Ghafi merasa lebih ringan. Meski tantangan di depannya belum selesai, dia tahu bahwa ada orang-orang yang mendukungnya.

Kembali ke Desa

Sepulang dari kota, Ghafi merasa sedikit lebih tenang. Namun, di malam harinya, saat ia duduk di depan meja belajarnya, rasa cemas kembali muncul. Bagaimana jika mimpinya terlalu besar? Bagaimana jika dia tidak cukup pintar untuk bersaing dengan ribuan pendaftar lain?

Dia membuka buku catatannya, membaca kembali esai yang ia tulis. Di sana, dia menggambarkan mimpinya dengan jelas: membantu desa-desa yang kesulitan mendapatkan air bersih. Membaca kata-kata itu membuatnya tersadar bahwa alasan di balik mimpinya jauh lebih besar daripada ketakutannya.

Ketika ia selesai membaca, pintu kamar diketuk pelan.

“Ghafi, kamu masih bangun?” suara Bu Ratna terdengar dari luar.

“Iya, Bu. Ada apa?”

Ibunya masuk, membawa segelas susu hangat. Ia duduk di pinggir ranjang Ghafi, menatap anaknya dengan penuh kasih.

“Ibu tahu ini semua nggak mudah buat kamu,” katanya lembut. “Tapi Ibu percaya, kalau kamu sungguh-sungguh, kamu bisa mencapainya.”

Kata-kata ibunya membuat hati Ghafi menghangat. Ia meminum susu itu, lalu tersenyum. “Terima kasih, Bu. Aku nggak akan mengecewakan Ibu dan Bapak.”

Bu Ratna tersenyum dan mengusap kepala anaknya sebelum meninggalkan kamar.

Malam itu, Ghafi tidur dengan lebih tenang. Ia tahu jalan di depannya masih panjang, tapi ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Persiapan Ujian

Beberapa minggu berlalu. Hari-hari Ghafi dipenuhi dengan belajar untuk ujian seleksi masuk universitas. Ia menghabiskan waktu di perpustakaan desa, membaca buku-buku tentang fisika, matematika, dan topik lain yang relevan.

Jaka dan Sari sering datang untuk menemaninya, meski kehadiran mereka lebih banyak diwarnai candaan daripada belajar.

“Fi, kalau kamu jadi mahasiswa nanti, jangan lupa undang kami ke kota,” ujar Jaka sambil menggambar peta lucu di buku catatan Ghafi.

“Benar. Siapa tahu, kami bisa bantu promosiin proyek air bersihmu,” tambah Sari sambil tertawa.

Di balik candaan mereka, Ghafi merasa bersyukur memiliki teman-teman seperti Jaka dan Sari. Mereka mungkin sering menggoda, tapi dukungan mereka selalu tulus.

Hingga akhirnya, hari ujian pun tiba. Ghafi berangkat ke kota dengan doa dari keluarganya dan semangat yang membara. Ia tahu, hari itu adalah langkah penting dalam perjalanan panjangnya menuju mimpinya.


(To be continued...)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar


____________Toko Produk-Produk Cantik

Postingan Populer