Di rumah, suasana terasa lebih tenang dibandingkan keramaian di sekolah tadi. Rumah keluarga Ghafi sederhana, dengan dinding bata yang sebagian besar tertutup cat biru yang mulai pudar. Di ruang makan yang kecil, meja kayu tua sudah penuh dengan hidangan sederhana: sepiring nasi hangat, tumis kangkung, dan ikan asin goreng. Ibunya, Bu Ratna, sibuk menuang teh ke gelas-gelas sambil mengobrol dengan nada santai.
"Jadi, Ghafi," kata Bu Ratna sambil duduk di kursinya, "Ibu dengar dari Pak Kardi, anaknya yang di Jakarta baru keterima di universitas. Kalau kamu gimana? Sudah tahu mau daftar ke mana?"
Pertanyaan itu membuat Ghafi berhenti mengunyah. Ia melirik ayahnya, Pak Herman, yang sedang asyik membaca koran di ujung meja. Biasanya, ayahnya jarang terlibat dalam percakapan seperti ini, tapi kali ini, pria tua itu menurunkan korannya dan menatap Ghafi.
“Sudah, Pak. Aku pengin ambil teknik hidrolika,” jawab Ghafi, suaranya pelan tapi tegas.
“Hidrolika? Itu yang soal pipa-pipa air?” tanya Bu Ratna sambil mengerutkan dahi.
“Iya, Bu,” Ghafi menjelaskan. “Tapi bukan cuma soal pipa. Ini tentang teknologi pengelolaan air. Kalau aku bisa belajar soal ini, aku bisa bantu orang-orang yang kesulitan air bersih.”
Pak Herman menghela napas panjang dan meletakkan korannya di meja. “Fi, itu bukan jurusan yang umum. Kalau kamu ambil jurusan ekonomi atau manajemen, mungkin peluang kerjanya lebih besar.”
Ghafi menunduk, menatap piringnya yang masih berisi separuh nasi. Ia tahu argumen ini akan muncul.
“Tapi, Pak,” ujarnya hati-hati, “hidrolika itu penting. Kita tinggal di desa yang sering kekurangan air bersih. Kalau aku bisa belajar soal ini, mungkin aku bisa bikin perubahan.”
Pak Herman mengangguk perlahan, seolah mempertimbangkan kata-kata anaknya. “Tapi, kamu tahu kan biaya kuliah itu mahal? Dan kuliah di bidang yang jarang diminati itu resikonya tinggi.”
Bu Ratna menyela dengan lembut, “Pak, kalau anak kita punya mimpi, bukankah tugas kita mendukung? Kalau Ghafi benar-benar serius, kita pasti bisa cari cara.”
“Betul, Bu,” ujar Ghafi dengan semangat yang tumbuh. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma mau kesempatan.”
Pak Herman menghela napas lagi, tapi kali ini lebih pendek. “Baiklah. Kalau itu pilihanmu, kita dukung. Tapi, kamu harus serius, ya. Jangan sampai setengah jalan.”
“Terima kasih, Pak! Bu!” seru Ghafi, matanya berbinar.
Bu Ratna tersenyum. “Sekarang makan dulu yang banyak. Biar otaknya kuat buat mikir universitas mana yang bagus.”
Pertemuan di Warung Kopi
Keesokan harinya, Ghafi memutuskan untuk pergi ke warung kopi di ujung desa. Tempat itu kecil tapi selalu ramai, terutama dengan obrolan para pemuda yang baru lulus seperti dirinya. Di sana, dia bertemu lagi dengan Jaka dan Sari yang sudah duduk di meja pojok sambil menyeruput es teh.
“Eh, Fi! Ke sini!” panggil Jaka, melambaikan tangan.
Ghafi bergabung dengan mereka, menarik kursi kayu yang berderit pelan saat diduduki.
“Kamu serius mau ambil teknik hidrolika?” tanya Sari tanpa basa-basi.
“Iya,” jawab Ghafi sambil mengaduk kopi hitam di depannya. “Kenapa? Kedengarannya aneh, ya?”
“Bukan aneh,” kata Sari sambil tertawa kecil. “Cuma... nggak biasa aja. Aku belum pernah dengar orang mau ambil jurusan itu. Kamu yakin bisa?”
“Kenapa nggak?” balas Ghafi, suaranya lebih tegas dari yang dia harapkan. “Aku tahu ini nggak gampang, tapi aku punya alasan. Hidrolika itu soal air, dan air itu kehidupan. Kalau aku bisa belajar bagaimana mengelola air dengan baik, aku bisa bantu banyak orang.”
Jaka menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangan dilipat di dada. “Keren juga, Fi. Aku kira kamu cuma ikut-ikutan tren. Tapi kalau kamu memang punya alasan sekuat itu, ya kenapa nggak? Kita semua butuh air, kan?”
Sari mengangguk setuju. “Aku setuju. Tapi kamu harus siap, Fi. Aku dengar kuliah teknik itu berat. Kalau kamu salah langkah, bisa-bisa kamu nyerah di tengah jalan.”
“Makanya, aku butuh dukungan kalian,” kata Ghafi sambil tersenyum.
Percakapan mereka berlanjut, berisi candaan dan mimpi-mimpi masa depan. Namun di hati Ghafi, ia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Perjalanan ini baru dimulai, dan ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Di antara tawa teman-temannya, Ghafi menemukan semangat baru untuk melangkah maju, mengikuti aliran air yang akan membawanya ke tujuan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar